Anak-Anak Jurang (2)
..
Pagi itu, ketika aku masuk kantor dan membuka berkas ketiga dari atas tumpukan, aku nyaris terjatuh dari kursiku.
“Verifikasi Ruang Saka. Pengajuan menjadi Sanggar Kreatif Muda Payakumbuh.”
Ruang Saka. Tempat yang kutinggalkan tanpa pamit. Tempat di mana tawa kami dulu meledak di malam-malam tanpa listrik. Tempat Raya menari dengan rambut terurai dan kaki berdarah. Tempat puisi terasa seperti bom, dan cat tembok bisa dianggap makar. Tempat sejarah dibisikkan dengan tubuh.
Dan kini, nama itu ada di map kantor pemerintah.
Aku—Damar, mantan penyair panggung, kini jadi pejabat kecil di Dinas Kebudayaan—diminta memverifikasi apakah tempat itu “layak” dijadikan sanggar binaan.
Layak?
Aku menatap tulisan itu lama sekali, seperti menatap batu nisan yang tak tahu siapa yang dikubur di bawahnya.
Aku pergi ke sana diam-diam. Tak ingin staf melihatku menyelusuri jalan ke kaki Bukit Barisan. Tak ingin mereka tahu rumah gadang reyot itu masih berdiri, meski papan lantainya sudah berlumut dan cat muralnya mulai memudar.
Di halaman, ada seorang gadis. Kurus, rambutnya pendek, bajunya penuh noda tinta. Ia sedang menggantung seutas kain putih besar bertuliskan:
“LUKA JANGAN DIBINA, BIARKAN IA BICARA.”
Namanya Gina. Seorang koreografer muda yang katanya baru pulang dari kota.
“Kau dari dinas, ya?” tanyanya sambil mengikat ujung kain ke tiang kayu. “Mau pastikan kami layak dibina?”
Aku ingin menjelaskan bahwa aku bukan seperti pejabat lain. Tapi kalimat itu terlalu memalukan untuk keluar dari mulutku sendiri.
“Aku dulu bagian dari tempat ini,” ucapku akhirnya. “Aku teman Raya.”
Mata Gina menyipit. Ia memandangku lama, seolah menimbang apakah aku masih bagian dari kami—atau sudah berubah menjadi mereka.
“Raya yang puisinya dilarang itu?” katanya. “Yang naskahnya dicuri dan suaranya diredam?”
Aku menunduk.
“Aku temukan naskah aslinya di pasar loak. Dalam tumpukan sampah buku pemerintah. Aku akan pentaskan ulang. Judulnya: Burung-Burung di Atas Tembok.”
Aku menarik napas panjang. Nama itu—judul itu—menghantam dadaku seperti tonggak. Aku yang dulu menolak naskah itu dipentaskan karena dianggap terlalu berbahaya. Aku yang dulu berkata pada Raya: “Kita akan mati kalau terus mengutuk.”
Raya menjawab: “Lebih baik mati karena mengutuk, daripada hidup dengan mulut terjahit.”
Kini, naskah itu kembali. Di tangan generasi baru yang tidak mengenalku. Tapi aku mengenali mereka.
Beberapa hari kemudian, pertunjukan itu benar-benar berlangsung. Acaranya dimasukkan ke dalam rangka Festival Kebudayaan Daerah. Panggungnya megah, aula penuh, pejabat hadir. Bahkan media lokal datang meliput.
Di belakang panggung, Gina tak berhenti berjalan mondar-mandir. Matanya seperti bara. Satu-satunya yang ia katakan padaku sebelum naik panggung hanyalah:
“Jangan coba-coba padamkan kami kali ini.”
Lampu panggung menyala.
Lagu pembuka tidak memakai alat musik. Hanya suara napas dan hentakan kaki di lantai kayu. Penari masuk satu per satu, membawa papan-papan bertuliskan kutipan dari surat tahanan, memoar penyintas, hingga catatan polisi.
“Mereka bilang, aku bukan manusia. Aku adalah ancaman karena berpikir.”
“Kami ditahan bukan karena bersalah, tapi karena mengingat.”
Panggung memanas. Penonton resah. Pejabat menggeser duduk. Di baris terdepan, aku menahan napas.
Lalu Gina keluar. Ia berdiri di tengah panggung, menggenggam naskah lusuh. Dan dengan satu gerakan cepat, ia merobeknya di depan penonton.
“Tak ada kata yang cukup untuk menyebut pengkhianatan,” katanya lantang. “Tapi hari ini, kami memilih untuk tidak diam!”
Aula meledak. Beberapa orang berdiri dan pergi. Sebagian bertepuk tangan. Sebagian bingung.
Aku tetap duduk. Dalam diriku, ada sesuatu yang pecah. Dan itu bukan amarah. Itu adalah rasa malu yang tertunda bertahun-tahun.
Tiga hari kemudian, aku dipanggil atasan. Diminta klarifikasi. Diminta menulis laporan insiden.
Aku tidak menulisnya.
Malam itu, aku datang ke Ruang Saka. Gina sedang sendiri, melipat kain pentas. Aku menyerahkan amplop coklat berisi naskah asli Anak-Anak Jurang, puisi-puisi tangan Raya, dan surat yang dulu tak sempat dikirimkan.
“Kenapa kau beri aku ini?”
“Karena yang liar harus dibiarkan hidup,” kataku. “Dan aku terlalu tua untuk jadi penjinak.”
Gina menatapku lama. Lalu ia mengambil amplop itu. Memasukkannya ke dalam ranselnya.
Aku pulang malam itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, aku merasa seperti manusia kembali.
____
Pernyataan
Cerita, tokoh, tempat, dialog, dan peristiwa yang terdapat dalam trilogi “Anak-Anak Jurang” sepenuhnya merupakan karya fiksi. Semua unsur di dalamnya lahir dari imajinasi penulis dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan atau mewakili individu, lembaga, atau peristiwa nyata secara langsung.
Apabila terdapat kemiripan nama tokoh, tempat, situasi, atau kejadian dengan kenyataan, hal tersebut adalah kebetulan semata dan bukan hasil dari niat atau maksud tertentu.
Cerita ini ditulis untuk kepentingan ekspresi sastra, refleksi sosial, dan pembacaan artistik atas ruang seni, perlawanan budaya, serta ingatan kolektif yang hidup di masyarakat. Harap dibaca dengan semangat apresiatif dan kritis sebagaimana layaknya karya fiksi.
_________
sungai | iniartchive