Asap keluar dari bibir hitam dengan sudut keriput yang tak bisa disembunyikan, tak ingin juga disembunyikan. Tangan menggenggam kendali mesin yang menderu di belakangnya. Kulit gelap terbakar terik dan sepanjang hari digarami laut.
Beberapa ekor tongkol berjejal dalam kotak stereoform tanpa es. Sesekali matanya memandang ikan lalu kembali memandang ke kejauhan, hamparan garis pantai, daratan tempatnya berlabuh, tempat keluarganya menanti.
Hasan, lelaki tua dengan baju kumal yang melekat erat di tubuhnya, lengket oleh butir-butir air laut yang tertiup. Lengket oleh hujan yang jatuh disaat yang bersamaan, kemudian mengering oleh waktu.
“semoga cukup untuk modal besok” Hasan bergumam di antara asap yang dihembuskannya.
Gelombang telah mengombang ambingnya, pasang surut juga begitu serig mempermainkan, demikian juga dengan angin dan arus yang datang seenaknya. Namun satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya memulai hari lebih pagi, menjelajah laut lebih jauh.
Hari itu air sedang pasang, namu sayang pasang air laut tidak berbanding lurus dengan keberuntungan untuknya, berarti tidak pasang juga untuk keluarganya.
Tangan gelap, keriput, pembuluh darah tegas menjalar dan membelit, dengan lihai menggerakkan tuas kemudi. Mengatur arah baling-baling yang berputar di bawah permukaan air. Mencari celah diantara gulungan ombak. Daratan yang kian jelas di depan mata menjadi stimulant, obat kuat untuk tubuh yang telah kelelahan melempar kail di tengah gelombang yang melindungi ikan-ikan yang berenang di bawahnya.
“sial baunya keras sekali” tiba-tiba sebuah kalimat terucap, tidak bisa ditahannya.
Matanya mencari sumber aroma yang mengganggu hidungnya, menyisir pantai yang hendak di tuju. Beberapa sampan tampak bergoyang-goyang dikejauhan, sementara sampan-sampan yang lain telah berbaris di atas pasir. Sampan yang telah tiba lebih dahulu. Tiba sebelum dia.
Kepulan asap tebal membungbung dari sebuah kapal yang bersandar di dermaga.
“sial kenapa asap setebal itu dibiarkan saja” katanya ketika berhasil menemukan sumber aroma tajam yang menusuk hidungnya.
Sebuah tuas yang lain di tarik, baling-baling berputar lebih kencang, air memercik, sampan melaju lebih cepat menuju daratan, sementara asap dari kapal tongkang di dermaga tak kalah cepat tertiup ke daratan.
Mendekati bibir pantai lelaki itu mematikan mesin, dua orang lelaki lebih muda yang sedang berada di pantai menghampiri sampan. Memasauki perairan yang kian dangkal, Hasan melompat dari sampan, turun ke dalam air.
Dua orang warga membantu mendorong sampan ke atas pasir.
Aroma tajam kiat menusuk.
“kalian tidak menciumnya?” Tanya lelaki tua setelah berhasil mencapai daratan.
“iya. tercium” jawab sandek ketika sampan telah berlabuh di atas pasir. “dapat?”
“sedikit, gelombangnya tinggi sekali. Tidak ada ikan yang mau narik” jawab Hasan. “itu lho asapnya hitam sekali” Hasan melanjutkan.
“ya mau bagaimana lagi, nanti juga hilang” sandek menjawab. Sandek, salah satu warga yang membantu mendorong sampan ke tepian. Sosok yang telah bertahun-tahun menjadi tetangga.
“dari jam berapa asap ini?” Hasan bertanya sambil menutup hidung dan melangkah hendak mengambil kotak putih berisi nafkah yang berhasil dikumpulkannya dari laut sepanjang hari itu.
“dari pagi, sekitar jam 8 an” kata Jovan, rekan Sandek dengan kaos merah jejak pemilu tahun lalu.
“sudah dari pagi dan kalian diam saja?” Hasan bertanya dengan nada tinggi.
Kedua tangannya tak lagi menutup hidung berganti mangangkat kotak putih dan membawanya melangkah meninggalkan sampan.
Asap mengepungnya, menyusup masuk dalam hembusan nafasnya, menggelitik dinding kerongkongan, memicu batuk yang tak bisa dibendungnya.
Rekan-rekan yang membantunya menepikan sampan menggerumuni isi kotak. Dilihatnya beberapa ekor ikan berjejal di dalam kotak. “kalian mau?” lelaki tua itu menawarkan hasil tangkapan pada Sandek dan Jovan, rekan yang telah membantunya mendorong sampan.
“aku minta seekor” kata Sandek menjawab sambil mengambil beberapa ekor ikan tongkol.
“kamu mau?” Hasan menoleh Jovan, sosok yang lebih muda dengan tubuh yang lebih kekar.
“tidak usah” dia menolak, “jual aja, tadi siang aku sempat turun di pinggir” Jovan melanjutkan.
Asap terus bertiup dari kapal tongkang yang bersandar di dermaga. Kapal tongkang yang penuh memuat batu bara. Asap hitam pekat menyusup tertiup angin. Bergiliran suara batuk dan ludah keluar dari mulut para lelaki yang sedang di pantai sore itu.
Di antara asap dan senja, anak-anak melempar tawa dan canda di antara ombak yang tak pernah menyerah merayap menyentuh bibir pasir.
Hasan menutup mesinnya dengan perlak plastic, menyembunyikannya dari hujan, dari embun, dan uap air laut. Menyembunyikan alat produksi penghidupan keluarganya. Menyembunyikan dengan rapat sebelum akhirnya melangkah meninggalkan pantai menuju rumah.
Bangunan berhimpitan, dia menyusup mengikuti asap yang telah sedari pagi datang mendahuluinya. Meninggalkan satu halaman memasuki halaman yang lainnya. Beberapa perempuan tampak samar di balik asap, berdiri dengan anak dalam gendongan. Berusaha menarik nafas semampunya. Sementara lampu-lampu satu persatu mulai menyala, temaram di tengah kepungan asap, orang-orang tua memilih bersembunyi di tengah ruangan membiarkan bayangan mereka diwujudkan cahaya lampu dan tertangkap mata Hasan.
Tiba di sebuah teras berlanatai semen kusam, dinding hijau muram menahan langit-langit abu. Seorang perempuan keluar dari dalam ruangan.
“sudah dari pagi asapnya tak kunjung berkurang” kalimat sapaan yang dilemparkan pada Hasan yang belum lagi menaruh kotak yang dibawanya.
“kenapa tidak dilaporkan?” jawab Hasan sambil meletakan kotak ikan yang dibawanya.
“siapa yang berani melaporkan?” jawab perempuan di hadapannya.
“ya sudah ini timbang dulu ikannnya, dapat sedikit,” Hasan menjawab.
Perempuan itu mengambil kotak putih yang diletakkan Hasan kemudian melanngkah meninggalkan teras, masuk lebih dalam ke dalam kepungan asap.
“sial” gumam hasan sambil melangkah meninggalkan teras menuju kamar mandi yang ada di ujung pekarangan.
Tubuh yang lengket oleh keringat dan uap asin air laut, lelah setelah memecah gelombang sepanjang hari, dan hasil tangkapan yang tak seberapa menjejal dalam diri Hasan.
Jejalan yang kian sesak dengan kenyataan rumah tempat keluarganya berada, tempat dia akan pulang dan merebahkan diri ternyata pekat oleh asap hitam, tebal.
Sebuah sambutan yang membuat jejalan kian menghimpit, kian menyesakkan.
Tanpa berbicara sepatah katapun Hasan keluar dari kamar mandi dengan subuah handuk kumal, masuk kedalam rumah dan kembali keluar dengan pakain yang cukup bersih.
Wajahnya terlihat lebih segar walau tetap saja amarah tidak bisa disembunyikan. Amarah yang bisa terlihat dengan jelas keluar dari tatapan matanya. Tampak jelas dari gerak tubuh dan langkah kakinya.
Dia melangkah meninggalkan rumah, melangkah diantara batuk, ludah yang terus dikeluarkan dan usaha tetap bernapas.
“Sandek… Sandek…” Hasan berteriak di halaman sebuah rumah.
“ada apa San?” seorang perempuan tua muncul sambil terbatuk-batuk. Menyusul beberapa warga bermunculan.
“Sandek mana Mak?” Hasan menanyakan keberadaan rekan satu kampung yang tadi sore membantunya mendorong sampan ke pantai.
“Ndak ada di rumah, masih di pantai sepertinya” perempuan tua itu menjawab, suara batuk lemah mengikuti gerakan otot-otot rentanya. “memangnya ada apa San?” Tanya perempuan tua itu.
“asap ini mau diiarkan sampai kapan” jawabnya sambil melangkah menuju pantai. Langkah yang diikuti beberapa pemuda dibelakangnya.
Disebuah gubuk terlihat Sandek sedang berbincang dengan lelaki lainnya.
“Sandek….” Suara Hasan membuat sandek memalingkan lehernya, terkejut, menoleh ke arah suara.
“bagaimana mmungkin kau bisa diam melihat asap setebal ini?” Hasan langsung menyerangnya.
“terus kamu mau bagaimana?” jawab Sandek spontan.
“iya San asapnya memang tebal, sudah dari tadi pagi” lelaki di hadapan Sandek menimpali.
“lalu kenapa kalian yang sedari tadi di rumah hanya diam saja?” Hasan kini bertanya pada dua lelaki yang sedari tadi menikmati senja dan asap di seuah gubuk di pinggir pantai.
“kamu mau kami melakukan apa?” Tanya sandek.
“ya suruh mereka menyingkirkan asap ini” katanya menjawab.
“kakmu kira asap ini bisa dibungkus?” Sandek membalas dengan pertanyaan.
“hahahaha” lelaki yang ada di sebelah Sandek tertawa spontan mendengar jawaban Sandek.
“sial, aku sesak menihirup asap ini” kata Hasan. “apa kalian tidak merasakannya?”
“iya, anakku juga susah bernafas gara-gara asap ini” suara seorang pemuda yang sedari tadi melangkah mengikuti Hasan.
“San,ini bukan kali pertama asap masuk ke kampung kita” kata Sandek.
“iya, tetapi tidak pernah setebal ini” kata Hasan, “ini sudah dari tadi pagi dan mereka tidak juga punya niat baik menghentikan asap ini” lanjut Hasan.
Asap terus mengepul dari tongkang yang masih menempel di dermaga, berhembus tersamarkan gelap, kemudian mewujud jelas di bawah cahaya lampu. Suara batuk bersahutan dari dalam rumah, tersamarkan deburan ombak yang tidak pernah berhenti.
“Sandek, kamu kepala lingkungan, kamu seharusnya yang menyampaikan keluhan kami, wargamu” kata Hasan.
“yang mengeluh kan hanya kamu, warga yang lain yang lebih dahulu mencium asap ini saja tidak secerewet kamu” kata Sandek.
“hanya karena mereka tidak cerewet bukan berarti mereka nyaman dengan asap yang menyengat ini, atau hidungmu sudah rusak?”
“apa kamu terganggu Man?” hasan bertanya pada lelaki yang duduk di sebelahnya.
Iman hanya diam, tidak sepatah katapun muncul dari mulutnya.
“kamu terganggu Rus” Tanya Sandek pada Rusdi pemuda yang tadi mengeluh dan masih berdiri dibelakang Hasan. “kamu mau komplain ke sana Rus?” lanjutnya Sandek.
Hasan melihat wajah Rusdi yang tersamarkan gelap malam dan hembusan asap.
“kalau kamu mau Komplain Rus, sana komplain sendiri” Sandek melanjutkan sebelum Rusdi menggerakkan bibirnya untuk menjawab.
Satu persatu lelaki berdatangan dari arah cahaya pemukiman warga, beberapa orang diantaranya menggunakan penutup hidung alakadarnya.
“kamu tidak bisa seperti itu, kamu kepala lingkungan, yang kami tuakan” kata Hasan.
“tapi aku tidak merasa terganggu” jawab Sandek, “lagi pula jangan lupa San, kau sudah menerima apa, kamu ingat kan? Atau perlu aku ingatkan?” Sandek mengungkit apa yang sudah diterima warga di lingkungan yang dipimpinnya.
Wajah hasan memerah, geram mendengar kalimat dari yang dilontarkan Sandek.
“maksudmu apa?” Tanya Hasan denga nada tinggi. “jadi hanya karena aku menerima pemberian mereka maka aku tidak boleh mengeluh?”
“aku hanya mengingatkan San, warga kita sudah menerima banyak bantuan dan tidak mempermasalahkan keberadaan mereka. Kamu mau ingkar dari apa pilihan sikapmu mendukung mereka?” Tanya hasan.
“persoalannya sekarang asap mereka sudah keterlaluan, jika asapnya tipis dan sebentar aku tidak masalah, ini sudah seharian dan pekat. Kamu tidak dengar suara batuk-batuk itu?” kata hasan.
“jadi karena asap ini kemudian kamu akan mempermasalahkan dan melupakan pemberian mereka?” Sandek bertanya.
“ayolah Hasan ini bukan hal baru yang pertama kali terjadi, sebentar lagi juga hilang tertiup angin” Iman mencoba menenangkan Hasan.
“Man, mungkin kamu tidak sesak. Kamu Juga tidak punya bayi, jadi kamu bisa bilang seperti itu” kata Hasan. “memang ini bukan kali pertama asap masuk ke kampung kita. Aku tahu itu”
“namun karena baru kali ini kejadiannya separah ini. Asap setebal dan semenyengat ini. Dan kebakaran yang terjadi seolah dibiarkan begitu saja.” Suara Hasan kian tinggi. “kita tidka bisa membiarkan kebakaran batubara di tongkang mereka dibiarkan begitu saja, mereka harus berusaha memadamkannya”
“karena itu maka kita harus segera mengingatkan mereka, agar mereka tidak kebiasaan seenaknya. Lagi pula ini sudah berlangsung dari pagi dan tidak kunjung hilang, bagaimana mungkin asap ini akan segera hilang?” hasan masih berbicara.
Beberapa warga kian ramai berdiri disekitar gubuk.
“jika tidak diingatkan, mereka tidak akan melakukan apa-apa. Jika kalian mau menunggu, menunggu sampai kapan? Sampai batubara diatas tongkang itu habis jadi abu?” Hasan melempar pertanyaan dengan pandangan tajam menatap Sandek dan sesame warga yang sedari tadi hanya duduk di gubuk.
“tunggu saja, sebentar lagi batubara di tongkang yang terbakar itu juga akan habis diangkut ke dalam” jawab Iman.
“tunggu, tunggu sampai semua sesak nafas, tunggu sampai cucuku muntah-muntah?” kata Hasan. “atau tunggu sampai satu persatu bati, orang tua dan anak-anak dilarikan ke UGD?
“Sandek, jika kamu tidak mau bicara sama mereka untuk menyingkirkan asap ini maka aku yang akan ke sana sendiri” lanjut Hasan.
“lakukan San, lakukan saja!! Tunjukkan betapa tidak tahu dirinya dirimu, kemarin menerima hari ini komplain” serang Sandek.
“ini persolan berbeda, sekarang mereka keterlaluan, membiarkan asap sedemikian pekat masuk ke kampungku. Masuk ke dalam rumahku” jawab Hasan.
“lalu kenapa baru sekarang? Kenapa kemarin-kemarin kamu menerima pemberian mereka?”
“karena kemarin-kemarin tidak sepekat ini. Kau lihat bagaimana warga susah bernafas hari ini dan kau hayna memilih diam” balas Hasan.
“aku diam karena aku sadar, kita sudah menerima begitu banyak pemberian dari mereka. Kita sudah menandatangani pernyataan menerima keberadaan mereka dan tidak merasa terganggu” Sandek mengingatkan bagaimana sikap warga yang dipimpinnya selama ini.
“ini persoalan lain, aku tidak mau keluargaku mati kercunan malam ini. Jika kau tidak mau menemui mereka cukup diam Sandek, aku yang akan ke sana” Hasan berbalik, mengakhiri perdebatan tak berujung dengan Sandek.
“jika ada yang mau ikut ayo.. jika tidak aku akan ke sana sendiri” kata Hasan pada lakilaki yang hadir di pantai malam itu.
“sana pergi. kalau perlu komplain aja lebih besar agar kampung kita dapat bantuan lagi” kata Sandek.
“tutup mulutmu..!!!” balas Sasan pendek sambil melangkah menuju ke arah dermaga. Langkah kakinya diikuti Rusdi dan beberapa warga lain yang yang sepakat dengan Hasan.
Suara ombak menyamarkan langkah warga yang mendatangi sumber asap, mendatangi PLTU yang menjadi tetangga mereka, mengadukan bagaimana asap masuk memenuhi kampung, menyusup kedalam rumah, menyamarkan terang lampu, masuk ke bilik-bilik dan meniduri kasur, menjejak selimur, menggenggam tiap serat. Masuk menyusup dalam tiap rongga, terhisap, sesak, mencekik, menyesakkan.
***
Siang begitu gerah, meski sedang tepat di atas kepala awan kelabu yang melapisi langit mencegah sinar matahari leluasa memamerkan teriknya. Beberapa mobil truck tampak parkir rapi, pengemudinya duduk di emperan warung, menunggu makan siang mereka dihidangkan si pemiik warung.
“katanya si hasan bersama beberapa warga semalam protes ke PLTU” kata seoarang lelaki, Si Pemilik warung yang sedang menyiapkan pesanan sebuah minuman sachet.
“Iya, katanya sih begitu, gara-gara asap batubara yang terbakar masuk ke kampung mereka” kata seorang lelaki dari atas motor. Lelaki yang memesan sebuah minuman sachet.
Kedekatan diantara mereka membuat transaksi jual beli tidak perlu dilakukan dengan basa-basi sopan santun.
“aku juga dengar begitu” kata Si Pemilik warung sambil menuangkan air ke serbuk kuning minuman sachet yang telah terlebih dahulu berada di dalam gelas.
Di sebelahnya seorang perempuan sibuk mengambil lauk untuk dijejalkan pada piring yang telah berisi nasi.
“nah itu mukanya si Hasan ketika kemarin bilang kalau PLTU tidak mengganggu” kata lelaki yang duduk diatas motor menujuk Koran yang sedang di buka oleh salah satu pengunjung warung yang duduk di dekatnya parkir, menunggu.
Pengunjung yang sabar menunggu giliran nasi pesanannya tiba.
“ini koran lama Pak” celetuk Si Pengunjung, menjelaskan koran yang dalam genggamannya merupakan koran lama yang tergeletak di meja warung. Tergeletak begitu saja, kumal.
Lelaki di atas motor hanya tersenyum melihat penjelasan Si Pengunjung yang masih dengan koran dalam genggamannya. Matanya bergerak dari satu kata, ke kata selanjutnya, dari satu kalomat ke kalimat lain, dari satu paragraph ke paragraph kemudian. Sementara telinganya dengan seksama menunggu lanjutan obrolan dari pemilik warung dengan lelaki di atas motor.
Mencoba mencari hubungan antara berita yang dibaca dengan obrolan dua lelaki yang tiba-tiba harus didengarnya.
“setidaknya dia sekarang sudah merasakan secara langsung bagaimana dampaknya, jadi tidak hanya sekedar dakang-dukung” kata Si Pemilik warung sambil melangkah dari dalam warung dengan minuman sachet berwarna kuning, dengan es batu, dingin, dalam kantong plastic di tangannya. Melangkah menuju di pembeli yang masih duduk diatas motor.
“iya, jadi besok-besok tidak langsung dukung hanya karena sekilo daging qurban” kata lelaki di atas motor sebelum menerima kantong plastic berisi minuman sachet dingin. Menyerahkan selembar rupiah. Melempar sebuah senyuman pada Si Pemilik warung lalu kemudian berlalu bersama sepeda motornya.
L. Taji
20.1.19
Edited
02.25