hello world!
September 27, 2024

Hidup bagi Genta, seorang pelukis yang dulu penuh harapan, kini terasa seperti kanvas kosong yang tak pernah terisi penuh. Di masa mudanya, ia percaya bahwa seni adalah jendela keabadian; setiap goresan kuas adalah jejak yang ia tinggalkan dalam dunia. Namun bertahun-tahun berlalu, mimpinya memudar seperti cat yang terkelupas oleh waktu. Kritik-kritik tajam, penolakan dari galeri, serta pujian yang tak pernah datang membangun dinding antara dirinya dan dunia. Kini, Genta hanyalah seorang pelukis gagal—setidaknya begitu ia berpikir.

Depresi menyelimuti hidupnya seperti kabut tebal, menutupi segala warna. Setiap kali ia mencoba melukis, kuas di tangannya terasa berat, seolah-olah ada kekuatan yang menahannya. Dunia di luar studio menjadi semakin tak relevan baginya. Kehidupan terasa seperti sebuah teka-teki tanpa jawaban, dan ia mulai mempertanyakan arti dari segala usahanya. “Jika lukisan-lukisanku tidak diakui, untuk apa semua ini?” tanyanya berulang kali.

Filsuf Jean-Paul Sartre pernah berkata, “Kebebasan adalah kutukan kita, karena kita bebas untuk menentukan makna hidup kita sendiri.” Bagi Genta, kutukan itu terasa sangat nyata. Kebebasannya untuk memilih menjadi seniman telah membawanya ke jalan buntu. Apa gunanya kebebasan jika setiap pilihan tampak kosong?

Suatu malam yang sunyi, ketika rasa putus asa memuncak, Genta memutuskan untuk menyerah. Ia menulis satu catatan singkat di meja kerjanya: “Maaf, aku tak lagi punya warna untuk dilukis.”

Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari galeri seni yang pernah ia impikan. “Kami tertarik untuk memamerkan salah satu lukisan Anda yang belum selesai. Ada sesuatu yang jujur dalam ketidaksempurnaan itu.”

Lukisan yang belum selesai? Ia hampir tak ingat kapan terakhir kali ia melukis sesuatu yang layak dipamerkan. Tapi rasa ingin tahu memaksanya bangkit. Ia pergi ke sudut studio, menarik keluar kanvas yang penuh debu. Di sana, sebuah wajah yang setengah terbentuk menatapnya. Sapuan kuas yang kasar, latar belakang yang belum terisi. Karya yang tak pernah diselesaikan karena ia merasa itu tidak cukup baik.

Dengan ragu, ia mengirim foto lukisan itu ke galeri. Tak lama, balasan datang dengan pujian yang membuatnya tertegun. Mereka memintanya untuk segera mengirim karya aslinya untuk dipajang di pameran.

Pameran itu akhirnya dibuka, tapi Genta tak hadir. Malu, takut, dan penuh keraguan, ia tak sanggup melihat reaksinya. Namun, sebuah kabar mengejutkan datang: lukisannya terjual. Bukan hanya terjual, tapi dengan harga fantastis, jauh melampaui ekspektasinya. Dunia yang dulu menolaknya kini seolah merayakan karyanya. Tapi di balik itu semua, sesuatu masih terasa kosong.

Inilah plot twistnya: Penjualan lukisan itu tak membuatnya merasa utuh. Pengakuan yang selama ini ia cari tidak memberi arti lebih dalam hidupnya. Genta mulai bertanya-tanya, “Jika aku akhirnya diakui, mengapa aku masih merasa hampa?”

Di sini, Genta menyadari sesuatu yang mendalam. Dalam filsafat eksistensialisme, makna hidup tidak datang dari pengakuan eksternal. Kierkegaard pernah berkata, “Manusia bukanlah apa yang ia pikirkan tentang dirinya, melainkan apa yang ia lakukan dengan kebebasan yang dimilikinya.” Pengakuan orang lain, meski menyenangkan, hanyalah ilusi; yang sesungguhnya penting adalah bagaimana ia memandang dirinya sendiri.

Pada akhirnya, Genta kembali ke studio, menghadapi kanvas kosong yang lain. Tapi kali ini, ia melukis bukan untuk galeri, bukan untuk pujian, tapi untuk dirinya sendiri. Ia paham bahwa tak ada karya yang benar-benar sempurna, sebagaimana tak ada hidup yang benar-benar selesai. Setiap sapuan kuasnya adalah proses berdamai dengan kegagalan, menerima ketidaksempurnaan sebagai bagian dari hidup. Ia sadar bahwa seni, seperti hidup, bukan tentang tujuan akhir, tapi tentang perjalanan yang terus berlangsung.

Filsafat hidup yang kini dipahami Genta adalah ini: Hidup adalah absurditas, namun di sanalah keindahannya. Albert Camus pernah berkata, “Satu-satunya cara untuk menghadapi dunia yang tidak bebas adalah dengan menjadi begitu bebas hingga keberadaan kita menjadi tindakan pembangkangan.” Genta memutuskan untuk melukis dengan kebebasan penuh—tanpa beban ekspektasi, tanpa kebutuhan untuk diakui.

______________________________

Fakta:

  • Lebih dari 264 juta orang di seluruh dunia menderita depresi, dan banyak dari mereka adalah seniman.
  • Kisah seniman seperti Vincent Van Gogh, yang baru diakui setelah kematiannya, memperlihatkan betapa kejamnya dunia seni terhadap seniman yang masih hidup.
  • Sebuah studi di tahun 2018 menemukan bahwa seni rupa dapat mengurangi kecemasan hingga 70% di antara penderita depresi.

_______________________________

Dalam setiap ketidaksempurnaan, kita menemukan diri kita yang sebenarnya. Seperti lukisan yang tak pernah selesai, hidup ini adalah proses tanpa akhir, dan justru di sanalah letak keindahannya.

iniartchive.xyz.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

I NI Ar(t)chive

Adalah ruang pengarsipan bersama yang bersifat partisipatif publik untuk mendokumentasikan narasi-narasi kecil dalam beragam bentuk (media) dari setiap peristiwa sosial-budaya yang terjadi.
Jangan ragu untuk berpartisipasi dalam mengisi dan memperkaya perspektif ruang pengarsipan ini.
tupzz
tupzz
chevron-leftchevron-right