hello world!
Januari 20, 2025

Kaos Kaki Merah Dari Mawar Hitam

1

Sudah 7 hari aku berada di rumah ini, menyaksikan bagaimana perhatian ibuku yang tak bisa aku abaikan, perhatian yang harus dipendamnya selama berminggu-minggu dan ketika perhatian tersebut tidak bisa lagi ditahannya, maka dia akan mengambil gagang telpon rumah, lalu sebuah panggilan akan mencuri perhatianku, suaranya yang terdengar ragu akan bertanya bagaimana kabarku, apa yang aku makan, apa aku punya uang, apa aku rajin sholat dan mengingatan ku untuk tidak meninggalkan sholat, dan sebuah pertanyaan terakhir yang selalu sulit aku jawab. Pertanyaan yang artinya aku harus merubah jadwal kegiatanku, sebuah kalimat yang menanyakan kapan aku akan pulang.

Butuh beberapa saat bagiku sebelum akhirnya menjawab, mencoba mengalihkannya dengan pertanyaan akan topik lain, tapi tidak berhasil, selalu saja akan kembali pada pertanyaan itu.

14 hari yang lalu adalah telpon terakhirnya, yang membuatku kini berada di rumah ini, 7 hari bukan waktu yang singkat, terutama ketika berada dalam kenyataan hidup begitu yang nikmat dan aman, kenyataan yang begitu menggiurkan.

Aku benar-benar diambang batas, aku sudah mulai memasuki fase-fase awal menjadi babi, makan, tidur, sesekali pergi mengantar ke pasar, menyapa lalu berbincang dengan kawan masa kanak-kanak yang kini telah sibuk dengan rutinitasnya, bangun pagi, bekerja, lalu pulang menjelang gelap dengan kelelahan, layaknya semut pejantan yang telah kehabisan energi melayani birahi sang ratu, pemilik modal.

“kamu kerja dimana?” atau ”kamu kerja apa?” menjadi pertanyaan yang selalu saja dilemparkan sahabat masa kecilku, ,saat aku jawab hanya menganggur maka mereka akan dengan murah hati menawarkan lowongan kerja di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja, menyampaikan besar gaji yang akan didapat perbulan, pekerjaan yang sejak awal selalu saja aku hindari.

“Iya, nanti aku buat CV dulu” jawabku menghindar, hal yang tidak benar-benar akan ku lakukan, jawaban untuk menghindarkan kesan sombong atau kesan pemalas yang mungkin saja timbul di benak mereka.

“Sarapan dulu?” ibuku berkata sambil menata piring di meja makan.

“Iya” jawabku sambil melanjutkan langkahnya ke dapur, lalu mencuci gelasnya.

“Biarin aja dulu, nanti biar Ibu yang nyuci sekalian”

“Iya”  jawabku pelan, karena gelas tehku telah bersih dan diletakkan diatas rak perabotan.

“Ada kabar apa hari ini?” tanyaku sambil melangkah menuju meja makan. Aku lebih baik mendengar cerita tetang berita koran harian darinya daripada membaca secara langsung. Alasannya sederhana, pertama aku tidak benar-benar tertarik dengan keriuhan yang terjadi, keriuhan yang mulai mirip kecerewetan perawan tua. Kedua, ketika dia menceritakan berita yang telah dibacanya, tanpa disadari ceritanya akan menyajikan pandangannya terhadap peristiwa yangdiceritakannya. Hal yang ketiga, karena aku seperti kembali ke masa kanak-kanak ketika dia selalu punya waktu untuk menceritakan dongeng sebelum aku tidur.

“Tidak ada yang berarti, hanya tentang penistaan agama yang masih menjadi topik hangat serta pemilu Jakarta”

“Ohhh” aku menjawab pendek.

“Sudah makan dulu” ibuku menyela. Tak ingin wujud cinta kasihnya diabaikan oleh hal-hal yang tidak penting seperti politik.

Bagi ibuku ada dua hal yang penting, pertama tentu saja bagaimana urusan para lelakinya, dua laki-laki yang selalu dia khawatirkan, dan yang kedua keimanan.

“Aku mau balik ke Purwakarta hari ini” kataku ditengah suapan nasi goreng favoritku.

“Hari ini?” ibu bertanya.

Aku melirik ibuku yang duduk dihadapanku, melihat matanya mulai memancarka rasa sedih yang coba disembunyikannya. “Iya” jawabku.

“Kamu ada kerjaan?” bapakku bertanya sekaligus memberikan sebuah sinyal, alasan agar ibuku bisa menerima dan rela aku meninggalkan rumah.

“Iya, harus diselesaikan segera” kataku. Maaf Bu, aku harus berbohong,tidak ada kerjaan yang sedemikian gawat dan pentingnya, lagi pula memang aku sedang tidak ada kerjaan. Tetapi diam dirumah tanpa pekerjaan semakin membuat aku terlihat bodoh dan gagal.

“Tidak bisa ditundakah atau kamu kerjakan dirumah saja?”

“Tidak bisa Bu” aku tidak bisa memberikan penjelasan yang panjang, karena semakin panjang penjelasan yang kuberikan maka semakin banyak juga kebohongan yang harus aku karang, dan itu akan semakin menyiksaku.

Ibuku menyendokkan nasigoreng kedalam mulutnya, aku lihat keriput semakin jelas, tak lagi bisa disembunyikannya.

“Udah biarin aja, lagi pula dia pergi untuk kerja” kata Bapakku menyakinkan Ibuku.

Pada satu titik aku dan Bapakku akan saling bahu-membahu membebaskan diri dari rantai sayang dan kekhawatiran ibuku.

“Kenapa kamu tidak pindah dan tinggal di kota ini?” pertanyaan selalu saja datang setiap kali aku pulang.

“Tidak Bu, susah mencari kerja di sini?”

“Mana mungkin, kota ini lebih besar dari kota tempatmu menetap”

Aku diam, memasukkan nasi kedalam mulutku, aku sadar ibuku sedang menatapku, mengawasi dan menunggu jawabanku.

Aku terus mengunyah nasi itu, memastikan mulutku sibuk dan tidak punya kesempatan untuk menjawab pertanyaannya.

“Biarkan dia mencari pengalaman” kata bapakku.

“Aku kira dia suduh cukup lama tinggal jauh dari kita, tidakkah kau ingin dia pulang dan kembali menetap di rumah?” kini ibuku sedang menyerang lelaki satu lagi didalam rumah.

Meja makan ini selalu menjadi medan laga, seorang wanita melawan dua orang laki-laki, jumblah tidak akan memastikan kemenangan, apalagi jenis kelamin, sesekali kali kami kaum lelaki menang setelah melakukan perlawanan sengit, kemenangan yang harus kami bayar dengan permintaan maaf keesokan harinya, karena mengalahkannya sama artinya kami sedang menikam hati kami sendiri dengan sebilah pisau.

“Tentu aku ingin, tetapi dia laki-laki,laki-laki harus merantau dahulu sampai akhirnya dia siap” bapakku masih berjuang.

“Kita sudah tua, bagaimana jika terjadi sesuati pada kita?” ibuku menggunakan lagi senjata pebelaan dirinya...“Seperti ketika hipertensimu kumat, aku harus panik sendiri” lanjut ibuku.

Kini bapakku diam, dia tidak bisa mengelak, sebuah pukulan telak dihantamkan tepat dibawah rahangnya.

“Iya Bu, kalian akan baik-baik saja kok” perbincangan ini harus dihentikan. “Aku mau menyelesaikan kerjaan sebentar, setelah semua selesai aku pasti pulang”

“Iya kapan?” kini aku dikejar untuk menentukan deadline.

“Semoga tidak akan lama lagi” kataku.

“Bagaimana hasil pemeriksaan kesehatan ibu hasilnya bagus kan?” aku melarikan diri.

“Bagus, semua baik, hanya kolesterol aja sedikit naik, tapi kata dokter sih hasilnya bagus”

“Syukurlah, bagaimana dengan punya Bapak”

Harus ada yang dikorbankan untuk mengalihkan perhatian ibuku.

“Kasih tahu bapakmu untuk berhenti ngopi dan merokok sembunyi-sembunyi, dia kira ibu tidak tahu kalau dia masih suka sesekali merokok ketia berkumpul dengan bapak-bapak”

“Itu jarang, hanya sesekali waktu”

“Tapi tensimu kemarin naik, kamu tidak dengar dokter berkata apa…Kamu harus berhenti ngopi dan merokok”

“Sebaiknya bapak menuruti nasihat dokter”, kataku.

“Iya” bapakku menjawab pendek tanpa perlawanan. Dia tahu sebenarnya aku lebih menyarankan untuk semakin rapi mencuri dari ibu.

“Bagaimana kabar Mawar?”

“Baik” kataku menjawab pertanyaan ibuku.

“Sudah lama dia tidak pernah datang kemari, apa hubungan kalian baik-baik saja?”

“Kami baik-baik saja, dia sedikit sibuk dengan pekerjaan barunya”

“Ohhh……Ibu kangen ngobrol dengannya”

Bapakku mendorong piringnya kedepan, mengambil koran dan tersenyum padaku.

“Ibumu pingin mantu” bapakku mengalihkan senyumannya, menggoda ibuku.

“Dia perempuan yang baik, sopan, cantik, pintar, apa lagi yang kau tunggu?” ibuku memuji pacarku. “Dia juga mandiri, kamu juga sudah cukup umur untuk menikah atau kamu mau menunggu dia dibawa lari orang?”

“Tentu tidak ” aku tidak menyadari jawabanku.

“Ya sudah kalau begitu, mulailah berbicara serius padanya”

“Dia masih meniti karirnya,Bu. Aku tidak bisa menghancurkanmasa depannya” kataku, menyembuyikan ketidaksiapanku akan kehidupan yang stagnan.

“Pernikahan tidak akan menghancurkan masa depan, itu pendapat bodoh. Ketika sebuah hubungan sudah disahkan agama semua akan lebih mudah. Bukan begitu, Pak?”

“Iya, benar kata ibumu. Jangan menunda jika kau tidak mau pacarmu diambil lelaki lain”

Orang tuaku selalu sepaham, mereka berdua seolah butuh mainan baru. Rumah ini sepertinya butuh keceriaan anak-anak dan cucu menjadi keinginan mereka berdua.

“Iya” jawabku pendek sebelum menegak segelas air putih.

“Kamu tidak ingin bertemu dengannya sebelum kembali ke kotamu?”Ibuku selalu menyebut kota tempat tinggalku dengan kata kotaku, seolah ingin menekankan jarak yang memisahkan kediaman kami, menegaskan ketidaksukaannya pada jarak yang membentang tersebut.

“Kapan kamu terakhir bertemu dengannya?” ibuku bertanya.

“Dua hari yang lalu aku menjemputnya” jawabku.

“Kenapa kamu tidak mengajaknya mampir kemari?”tanya ibuku.

“Kami hanya makan dan dia terlihat sangat capek. Jadi aku mengantarnya pulang.”

“Kamu sempat bicara dengan orang tuanya?”tanya ibuku kembali.

“Iya, kami sempat berbincang”

“Mereka menyetujui hubungan kalian?”

“Entahlah, yang jelas mereka tidak pernah pernah keluhan”

“Kau harus sopan dan menarik perhatiannya orang tua pacarmu, sepertinya dia dari keluarga baik-baik” ibuku menyarankan sambil melangkah menuju dapur.

“Iya” kataku, mendorong kursiku kebelakang dan berdiri. “Aku mau siap-siap” kataku memberi tahu orang tuaku.

Ibuku melangkah tanpa memberika jawaban, bapakku masih khusyuk dengan korannya. Aku melangkah meninggalkan meja makan dan menuju kamar.

2

“Pakai ya?” katanya padaku ketika menyerahkan sebuah bungkusan.

“Apa ini?” aku ingin dia memberitahuku apa yang diberikannya padaku.

Itu adalah pertemuan terakhir kami sebelum aku memutuskan pergi, setelah satu minggu aku menjadi babi dalam kandang kerinduan… kerinduan akan kota yang menyimpan dua perempuan yang tidak bisa ku abaikan.

“Aku tak bisa menjagamu setiap saat, aku juga tidak bisa tahu keadaanmu setiap detik” dia mengatakannya di sebuah sore, dihadapan dua gelas lemon tea yang kami pesan sore itu. “Jadi paling tidak dengan ini aku mau kau  baik-baik saja”.

Aku menerima bungkusan itu tanpa ingin membukanya. Mata dibalik kaca yang bersinggasana diatas hidungnya lebih menarik dari bingkisan dalam kantung kertas ditanganku.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” katanya setelah ucapan terimakasihku keluar.

“Aku ingin merekammu, rekaman yang akan kuputar ketika aku melakoni perjalananku”

“Jangan jadi picisan” katanya.Dia seolah telah hafal pada setiap jurus rayuan laki-laki.

Kami akhirnya tertawa. Kalimat itu seolah menjadi tali yang akan menarik kami kembali pada kenyataan hubungan tak melulu seindah lukisan Moi Indie yang indah dan romantis.

“Jangan berusaha untuk merayuku karena itu tidak akan berguna” katanya disela-sela tawanya.

“Iya aku tahu, aku tahu kau terlalu cerdas untuk jatuh dalam rayuanku”

“Hahahaha…kau harus berusaha lebih keras”

“Apa yang akan kau kerjakan disana?” katanya bertanya padaku.

“Apa saja, asal aku bisa jauh darimu” sebuah pengakuan dosa keluar dari bibirku, pengakuan betapa lemahnya aku didekatnya.

“Jangan begitu, kau bisa melakukan banyak hal disini” katanya.

“Iya, mungkin. Tapi yang pasti terjadi aku akan merecoki aktivitasmu dan aku tidak ingin melakukan itu” jawabku.

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” katanya, sebelum bibir tipisnya menyentuh tepian gelas, lalu meletakkannya.

“Setidaknya jika kamu disini aku jadi tidak harus naik motor sendiri” lanjutnya.

“Baiklah, jadi aku menjadi tukang ojekmu?”

“Hahahaha, aku hanya bercanda” katanya menggoda.

“Aku butuh waras…itu lebih tepatnya.” Kataku.

“Iya, aku tahu. Jangan khawatir” jawabnya.

Kabut turun membuat cahaya  butuh usaha lebih keras untuk bisa tetap menerobos masuk. Burung-burung telah kembali kesarangnya, membawa sedikit makanan yang bisa didapat diantara kulit cemaraatau diantara tumpukan humus yang lembab..

Guguran daun yang telah menguning diatas tanah, menyembunyikan cacing yang menggeliat, diantara daun yang tidak mampu melawan waktu yang ingin segera membuatnya busuk, diantara ketakutan akan burung yang mengintai dengan perut lapar.

Apa yang harus aku lakukan untuk tidak memikirkannya, menjaga jarak bukan pilihan yang baik untuk bisa mengalihkan diri darinya, jarak tidak menghapus ingatan, jarak memupuk kerinduan.

Aku merindu,  bahkan dijaman ketika aku bisa menatap wajahnya kapanpun aku mau, dimasa ketika aku bisa tahu setiap hal yang dikerjakannya.

Jika hari ini kamu ada disini, maka kau akan merasakan betapa dinginnya tanganku, betapa dinginnya butiran air yang perlahan turun menyentuh kulitku dan ketika kau tahu hari ini aku disini kau akan menyalahkanku karena tidak mengajakmu.

“Sampai kapan kau akan lari dariku?” pertanyaan yang dilontarkannya setelah diam untuk beberapa saat.

“Entah lah…mungkin sampai aku bisa menguasai diriku”

“Ibu tidak melarangmu pergi?”

“Dia selalu akan melarangku, tapi itu salah satu alasan aku harus pergi. Kau tahu aku merasa kenyamanan kota ini membuatku terlena” kataku sambil mengambil gelas yang menyisakan setengah isinya.

“Kota ini tidak mengakomodasi keliaranmu?”

“Tidak seperti itu juga, keliaran bisa dilakukan dimana saja Hanya saja ketika ada dikota ini, dengan kau dan ibu didalamnya, aku akan lebih memilih menghabiskan waktu berasa kalian daripada menjadi liar”

“Dan kau tidak mau itu terjadi?”

“Aku belum mau itu terjadi, itu lebih tepatnya”

“Aku tidak akan memaksamu. Tapi ada hal-hal liar yang bisa kita lakukan bersama di kota ini” sebuah godaan muncul dari bibirnya.

“Kau menggodaku?”

“Tidak, jangan berpikir macam-macam”

“Bagaimana kau melarangku berpikir macam-macam tepat disaat kau menawarkan sebuah keliaran bersama?”

“Harusnya kau tahu keliaran yang aku maksud” katanya dengan wajah memerah, mencoba memnyembunyikan rasa malu ketika mengetahui aku menerjemahkan keliaran yang dimaksudnya dengan naluri laki-lakiku.

“Hahaha, lihatlah wajahmu” godaku.

“Sudah diam” rajuknya.

“Aku hanya ingin menemukan diriku terlebih dahulu sebelum memutuskan kembali ke Kota ini dan menetap diantara kalian”

“Jangan berkata seolah aku dan ibu adalah dua orang yang bertolak belakang dan memperebutkan mu”

“Aku tidak berkata demikian”

“Pernyataan kalau kau ingin ada diantara kami yang menunjukkan itu”

“Itu karena kalian adalah dua wanita yang akan menjadi alasan jika aku harus kembbali dan menetap di kota ini” sial …akhirnya bentengku runtuh.

“Aku tersanjung, apa ini adalah rayuan?” katanya bertanya.

“Anggap saja aku keceplosan”

“Aku masih akan di sini, bukan untuk menunggumu jadi kamu jangan besar kepala dulu” jelasnya.

“Iya aku tahu” aku menegak tegukan terakhir dari gelas dihadapanku.

Dia tidak pernah ingin menjadi merah apalagi memunculkan kelembutan melankolis merah muda. Dia konsisten untuk menjaga dirinya tetap hitam, kemurungan, dingin, misterius, keras dan ketika kau mengenalnya kehangatan akan muncul dibalik gesturnya.

3 buah cemara lalu diletakkan diatas dedaunan yang telah kecoklatan, tepat diatara kedua kakinya. Sebbuah  handphone  dikeluarkan dari sakunya, sebuah foto yang hanya menampilkan kaki yang tertutup kaos kaki merah dan sepatu hitam yang ingin dia tunjukkan…… tidak ingin menunjukkan wajah kerinduannya pada Mawar.

Pemuda itu duduk, jarinya membuka sebuah aplikai media sosial, sebuah foto yang baru diambilnya, foto yang menampilkan kaos kaki pemberian kekasihnya. Sebuah caption di tulis,“Wild..Wild ...black n red. :D.Thnkz red socks @mawar” dan diakhiri dengan  menekan instruksi share.

l.taji

/12/2/2017

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

I NI Ar(t)chive

Adalah ruang pengarsipan bersama yang bersifat partisipatif publik untuk mendokumentasikan narasi-narasi kecil dalam beragam bentuk (media) dari setiap peristiwa sosial-budaya yang terjadi.
Jangan ragu untuk berpartisipasi dalam mengisi dan memperkaya perspektif ruang pengarsipan ini.
tupzz
tupzz
chevron-leftchevron-right