hello world!
Februari 5, 2025

Kala, Lontar, dan Sungai: Tupai yang Menari di Atas Garis Nasib yang Patah

Di Kafe Bintang Jatuh, Kala sedang sibuk menulis puisi di atas serbet berbentuk segitiga ketika langit tiba-tiba berubah warna menjadi hijau neon. Lontar, yang baru saja menelan sebuah jam pasir mini, berseru:
"Lihat! Ada tupai terjebak di orbit komet!"

Tupai itu—bernama Sungai—melompat dari ekor komet, mendarat di meja mereka sambil membawa kacang meteor dan wajah pesimis.
"Aku Sungai. Aku tahu suatu saat nanti lompatanku akan berakhir di jurang," katanya, mengunyah kacang dengan getir.

"Tapi kau baru saja mendarat dengan sempurna," kata Kala.
"Semua lompatan indah hanya menunda kehancuran," jawab Sungai, matanya berkaca-kaca.

Lontar mengeluarkan peta antariksa dari mulutnya (yang ternyata tiket bioskop tahun 1997). "Kita butuh filosofimu. Ada masalah: gravitasi sedang mogok kerja."

 

Pemberontakan Gravitasi dan Kacang yang Menjadi Filosofi

Sejak pagi, benda-benda di alam semesta mulai melayang tanpa alasan:

  • Planet Mars kabur ke galaksi tetangga karena "capek jadi simbol perang".
  • Awan-awan demo minta cuti hujan.
  • Bahkan kopi di Kafe Bintang Jatuh mengambang keluar dari cangkir, membentuk tulisan "Kami Lelah Jadi Kafein!"

Sungai, si tupai pemikir, mengangguk-angguk. "Sudah kuduga. Gravitasi itu cinta yang tak direstui. Suatu saat pasti jatuh."
"Tapi kita perlu gravitasi!" protes Kala. "Aku tak mau kaleng sardinku terbang ke lubang hitam!"

Dengan enggan, Sungai setuju membantu. Syaratnya: mereka harus menemukan Kawah Nirwana, tempat gravitasi pertama kali diciptakan oleh Dewa yang Salah Jurusan.

 

Perjalanan ke Kawah Nirwana dengan Taksi Bintang Tua

Mereka naik taksi bintang bernama Sirius-42, dikemudikan oleh alien berbentuk ketapel yang selalu menyetel lagu "Bohemian Rhapsody" dalam bahasa planet Zog.

"Kawah Nirwana? Itu tempat liburan favorit para black hole," kata sang supir sambil melontarkan mereka ke lorong waktu.

Di tengah jalan, Sungai tiba-tiba melompat ke jendela taksi.
"Lompatanku yang ke-999. Ini pasti yang terakhir," bisiknya, lalu—blup!—terhisap ke dalam lubang cacing berbentuk donat.

Kala dan Lontar menyusul, menemukan Sungai sedang duduk di atas awan yang menangis, membaca buku "Seni Jatuh dengan Elegan".

 

Kawah Nirwana dan Dewa yang Jadi Barista

Kawah Nirwana ternyata sebuah kafe terapung dengan meja dari cahaya aurora. Di belakang counter, ada Dewa Gravitasi—seorang remaja berkostum labirin yang sedang latte art wajah Einstein.

"Gravitasi mogok? Wajar. Aku juga capek diperlakukan seperti hukum fisika biasa," keluhnya. "Mereka mau aku jadi apa? Influencer gaya tarik-menarik?"

Sungai melompat ke counter. "Gravitasi adalah lompatan tanpa akhir. Kau hanya perlu... berhenti takut jatuh."
Dewa Gravitasi tertegun. "Kau tupai pertama yang bicara seperti Yoda pengangguran."

Setelah diskusi absurd (dan minum 3 gelas es keputusasaan), Dewa itu setuju menghidupkan kembali gravitasi—dengan syarat: Sungai harus menjadi simbol baru gravitasi—tupai yang rela jatuh demi keseimbangan alam.

 

Tupai Terbang dan Puisi yang Menjadi Hukum Fisika

Sungai, kini dengan sayap dari kertas puisi Kala, melompat dari ujung komet ke ujung galaksi. Setiap lompatannya meninggalkan jejak cahaya berbentuk persamaan Newton yang diterjemahkan ke dalam pantun:

"Buah kacang jatuh ke bumi,
Tapi kenapa hati tak mau terikat?
Gravitasi bukan sekadar tarikan,
Tapi tarian dua jiwa yang takut sendirian."

Lontar tertawa. "Dia akhirnya menemukan alasan untuk jatuh: jadi pahlawan."
"Atau sekadar alasan agar tak perlu bayar utang kacang," sahut Kala, menyimpan puisi itu di ranselnya.

 

Mereka yang Kembali ke Kafe dengan Cerita dan Kacang yang Tak Pernah Habis

Kembali ke Kafe Bintang Jatuh, gravitasi telah normal. Kopi kembali di cangkir, awan turun hujan es krim, dan Sungai duduk di kursi baru dengan gelar "Tupai Penguasa Jatuh-Bangun".

"Kau masih takut jatuh?" tanya Lontar.
"Sekarang aku tahu: jatuh hanya cara alam semesta memeluk kita terlalu keras," jawab Sungai, melemparkan kacang meteor ke lubang hitam.

Kala menulis puisi terbaru di serbet:
"Di sini, kami—kucing, ular, tupai—
Bukan pahlawan, bukan penjahat.
Hanya tiga makhluk absurd
Yang belajar jatuh agar bisa menertawakan langit."


Jika kau melihat tupai melompat di malam hari, mungkin itu Sungai sedang mengajari bintang cara jatuh.

 

030225 | sungai | iniartchive

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

I NI Ar(t)chive

Adalah ruang pengarsipan bersama yang bersifat partisipatif publik untuk mendokumentasikan narasi-narasi kecil dalam beragam bentuk (media) dari setiap peristiwa sosial-budaya yang terjadi.
Jangan ragu untuk berpartisipasi dalam mengisi dan memperkaya perspektif ruang pengarsipan ini.
tupzz
tupzz
chevron-leftchevron-right