Bayangkan sebuah lukisan dari abad ke-19: perempuan Jawa dengan kemben sutra, duduk di bawah pohon beringin yang rindang, dikelilingi alam tropis yang "perawan". Itulah gambaran khas Orientalisme—mata Eropa yang menjadikan Nusantara sebagai objek eksotisme, diabadikan dalam kanvas pelukis Belanda seperti Jan Toorop atau Walter Spies. Tapi di balik romantisasi itu, tersembunyi luka kolonial: narasi Timur yang ditulis oleh Barat, untuk konsumsi Barat.
Namun, pada 1857, seorang pelukis Jawa bernama Raden Saleh mengguncang dunia seni Eropa. Lewat karya "Penangkapan Pangeran Diponegoro", ia tak hanya membalikkan narasi Belanda yang menyebut Diponegoro sebagai "pemberontak", tapi juga menciptakan ikon pahlawan yang gagah berani. Saleh, yang pernah tinggal di Eropa, paham betul bahasa seni Barat. Tapi ia memilih menggunakan kuasnya untuk membangun monumen kebanggaan lokal. Karya itu bukan sekadar lukisan—ia adalah manifesto politik pertama seni rupa Indonesia.
Di era 1950-an, ketika Indonesia masih merangkak dari reruntuhan kolonial, Affandi melukis dengan jari-jarinya yang penuh cat. Petani, nelayan, dan rakyat jelata menjadi subjek utamanya. Ekspresionismenya yang liar bukan lagi tentang keindahan alam tropis, tapi tentang keringat, luka, dan semangat orang kecil. Sementara itu, Hendra Gunawan—seniman Lekra—menciptakan "Pengantin Revolusi", menggambarkan pengantin perempuan dengan pistol di tangan. Lukisan itu adalah tamparan bagi Orientalisme: perempuan Indonesia tak lagi objek pasif, tapi pejuang yang siap mempertahankan kemerdekaan.
Tapi jejak Orientalisme tak mudah dihapus. Pada 2019, lukisan Walter Spies "Balinese Landscape" terjual Rp 42 miliar di Sotheby’s Singapura. Angka fantastis itu mengungkap paradoks: pasar seni global masih terpesona oleh romantisme kolonial. Padahal, menurut Indonesia Art Market Report (2023), hanya 12% seniman Indonesia yang karyanya dihargai di atas Rp 1 miliar di lelang internasional. Seolah ada hierarki tak kasatmata: karya "Timur" yang dianggap "otentik" harus melalui filter estetika Barat.
Seniman kontemporer seperti FX Harsono menolak diam. Dalam karya "Writing in the Rain" (2011), ia duduk di tengah hujan, menulis nama Tionghoa-nya berulang kali di atas batu—sebuah kritik terhadap penghapusan identitas selama Orde Baru. Karya ini tak hanya tentang politik identitas, tapi juga menjawab Orientalisme yang kerap mengkotak-kotakkan budaya Nusantara menjadi "etnis murni". Sementara Titarubi, lewat instalasi "Shadow of the Sultan" (2017), menggunakan rantai besi dan rempah-rempah untuk mengingatkan kita: jejak kolonialisme masih melekat dalam sistem pasar seni global.
Ariel Heryanto, kritikus budaya, pernah berujar: "Orientalisme bukan sekadar sejarah, tapi virus yang masih hidup dalam galeri, kuratorial, bahkan algoritma media sosial." Pernyataan ini terasa relevan ketika melihat platform digital hari ini. Lukisan "wanita Bali bertelanjang dada" masih viral sebagai simbol eksotisme, sementara karya-karya seniman perempuan kontemporer Indonesia seperti Arahmaiani harus berjuang lebih keras untuk diakui.
Tapi ada harapan. Riset ArtAsiaPacific (2022) mencatat, 45% seniman Indonesia kontemporer memasukkan tema dekolonisasi dalam karya mereka—naik 20% sejak 2010. Mereka tak lagi hanya bereaksi terhadap Orientalisme, tapi membangun bahasa visual baru. Misalnya, kolektif seni Ruangrupa yang mengkuratori Documenta 15 (2022) dengan prinsip "lumbung", menggeser fokus dari individualisme seniman ke ekosistem gotong royong. Ini adalah tamparan halus bagi sistem seni Barat yang hierarkis.
Di tengah riuh pasar seni dan algoritma yang kadung bias, seniman Indonesia terus menulis ulang kisah mereka. Seperti kata Raden Saleh: "Seni adalah bahasa universal, tapi jangan biarkan orang lain menceritakan kisahmu dengan perspektif mereka."
"Setiap goresan, instalasi, atau performans adalah halaman baru dalam buku besar seni rupa Indonesia. Di sini, Orientalisme tak lagi jadi penjajah, tapi bahan bakar untuk membakar kreativitas. Mau menyelami lebih dalam arsip seni yang memberontak?
iniartchive
Mooi Indie, yang berarti "Hindia yang Indah," adalah sebuah aliran seni rupa di Indonesia yang berkembang pada masa kolonial Belanda pada awal abad ke-20. Gaya ini terkenal dengan representasi pemandangan alam Indonesia yang eksotis, tenang, dan indah. Pelukis-pelukis Mooi Indie menggambarkan gunung-gunung yang menjulang, sawah-sawah yang luas, sungai yang mengalir tenang, serta desa-desa yang seolah jauh dari hiruk pikuk dunia. Namun, di balik representasi visual yang menawan ini, Mooi Indie membawa persoalan yang lebih dalam terkait filsafat, budaya, dan politik, terutama dalam konteks kolonialisme.
Dari perspektif filsafat estetika, Mooi Indie menghadirkan masalah yang kompleks. Seni ini didasarkan pada estetika kolonial, di mana alam digambarkan sebagai objek eksotisme dan keindahan belaka, tanpa memperhatikan realitas sosial dan politik yang ada. Mooi Indie mencerminkan pandangan estetika romantik, yang mengidealkan alam sebagai sesuatu yang murni, harmonis, dan tak tersentuh oleh modernitas. Ini sejalan dengan pandangan Immanuel Kant tentang keindahan sebagai sesuatu yang otonom dan bebas dari fungsi praktis.
Namun, dalam konteks Mooi Indie, estetika yang indah ini mengabaikan penderitaan rakyat Indonesia yang hidup di bawah eksploitasi kolonial. Filsuf Jean-Paul Sartre dalam kritiknya terhadap seni yang "melarikan diri dari realitas" mengajukan pertanyaan penting: apakah seni yang indah tanpa mengakui realitas ketidakadilan sosial masih relevan? Mooi Indie, dalam hal ini, terjebak dalam ilusi estetika yang memisahkan keindahan dari kebenaran. Seni menjadi "hiasan" yang memperindah dominasi kolonial, mengalihkan perhatian dari masalah nyata yang dihadapi oleh masyarakat pribumi.
Dari segi budaya, Mooi Indie menempatkan Indonesia sebagai objek eksotisme bagi mata Eropa. Representasi alam yang damai dan seolah tak tersentuh ini mengukuhkan narasi kolonial bahwa Hindia Belanda adalah tanah yang kaya dan menunggu untuk dieksploitasi. Lukisan-lukisan ini tidak menggambarkan kehidupan rakyat yang miskin atau perjuangan mereka melawan penjajahan, tetapi malah menampilkan pedesaan yang idealis, seakan-akan Indonesia adalah tanah yang damai dan harmonis di bawah kendali kolonial.
Pandangan ini mencerminkan apa yang disebut Edward Said sebagai "orientalisme"—proses di mana Barat menciptakan citra Timur sebagai sesuatu yang eksotis, primitif, dan pasif untuk memudahkan kontrol dan eksploitasi. Dalam konteks Mooi Indie, budaya Indonesia dilihat bukan sebagai entitas hidup yang dinamis, tetapi sebagai latar belakang eksotis bagi kebutuhan estetika kolonial. Dengan demikian, seni ini tidak memberikan ruang bagi suara lokal, tetapi justru mempertegas stereotip yang dibuat oleh penjajah.
Lebih jauh, seni Mooi Indie mengisolasi alam Indonesia dari realitas budaya yang sebenarnya. Penduduk pribumi sering kali digambarkan hanya sebagai bagian dari lanskap, tanpa identitas atau kehadiran aktif. Mereka terlihat sebagai elemen dekoratif dalam pemandangan yang idealis, tanpa pengaruh terhadap perkembangan budaya atau sejarah. Ini adalah bentuk dehumanisasi halus, di mana manusia Indonesia tidak dianggap sebagai subjek sejarah yang berdaya, melainkan sebagai objek visual untuk dikagumi oleh penguasa kolonial.
Mooi Indie tidak bisa dilepaskan dari konteks politik kolonial. Pada masa ini, Belanda berusaha mengukuhkan dominasinya atas Hindia Belanda, baik melalui kekuatan militer maupun strategi budaya. Lukisan-lukisan Mooi Indie menjadi alat propaganda yang efektif untuk menunjukkan bahwa Hindia Belanda adalah tanah yang indah dan stabil di bawah kekuasaan kolonial. Ketenangan alam yang digambarkan dalam lukisan-lukisan ini secara tidak langsung menguatkan narasi bahwa kolonialisme adalah sistem yang membawa kedamaian dan keteraturan.
Namun, kenyataan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia saat itu sangat berbeda. Di balik pemandangan alam yang indah, rakyat hidup dalam kemiskinan, mengalami ketidakadilan, dan berada di bawah eksploitasi ekonomi. Dalam konteks ini, Mooi Indie menjadi alat untuk menyembunyikan kekerasan struktural yang dihadirkan oleh kolonialisme. Lukisan-lukisan ini tidak menggambarkan konflik, penindasan, atau perjuangan rakyat. Sebaliknya, mereka menampilkan citra Indonesia yang harmonis dan penuh ketenangan, yang justru berfungsi untuk memperhalus wajah kolonialisme yang brutal.
Pada tahun 1930-an, muncul gerakan seniman yang mengkritik keras estetika Mooi Indie. Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang dipimpin oleh Sudjojono, menolak representasi Indonesia sebagai objek eksotisme dan keindahan pasif. Sudjojono menekankan bahwa seni harus menggambarkan "jiwa ketok" atau jiwa yang terlihat, yakni ekspresi nyata dari kehidupan rakyat dan situasi sosial-politik yang mereka hadapi. Seni tidak bisa hanya menjadi sarana untuk melarikan diri dari realitas, tetapi harus mencerminkan kondisi masyarakat secara jujur dan otentik.
Sudjojono menegaskan bahwa Mooi Indie adalah seni yang tidak berjiwa, karena hanya memusatkan perhatian pada aspek visual yang indah tanpa mengungkapkan kebenaran tentang masyarakat yang digambarkannya. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap estetika kolonial yang mencoba menghapus identitas dan perjuangan lokal dari narasi seni. Kritik ini membawa filsafat seni yang lebih berfokus pada ekspresi, di mana kejujuran dan kesadaran sosial lebih diutamakan daripada keindahan visual yang dangkal.
Dalam studi postkolonial, Mooi Indie sering dibaca sebagai representasi yang mengabadikan ketimpangan kekuasaan antara penjajah dan pribumi. Frantz Fanon berbicara tentang bagaimana kolonialisme membentuk identitas subjek kolonial melalui representasi budaya. Dalam hal ini, Mooi Indie memainkan peran penting dalam membentuk citra Indonesia di mata Eropa dan menegaskan posisi dominan Barat. Seni ini menempatkan Indonesia dalam kerangka eksotisme, di mana identitas dan kehidupan masyarakat lokal dipinggirkan demi mempertegas superioritas budaya kolonial.
Namun, perlawanan terhadap Mooi Indie oleh seniman-seniman Indonesia seperti Sudjojono, Affandi, dan anggota Persagi lainnya, adalah bentuk dekonstruksi narasi kolonial tersebut. Seni mereka mencerminkan semangat anti-kolonial yang berusaha untuk membebaskan seni dari dominasi estetika Eropa dan menggambarkan Indonesia dari perspektif lokal yang lebih autentik. Ini adalah upaya untuk merebut kembali narasi budaya dan menciptakan seni yang lebih jujur terhadap pengalaman rakyat Indonesia.
Mooi Indie adalah cerminan dari kompleksitas estetika, budaya, dan politik pada masa kolonial. Dari sudut pandang estetika, seni ini menawarkan keindahan yang ideal, namun pada saat yang sama menyembunyikan realitas ketidakadilan sosial dan eksploitasi politik. Dari perspektif budaya, Mooi Indie merepresentasikan orientalisme, di mana Indonesia dilihat sebagai objek eksotis bagi penguasa kolonial. Dan dari perspektif politik, seni ini berfungsi sebagai alat propaganda untuk melegitimasi kekuasaan kolonial.
Namun, melalui kritik dan perlawanan seniman Indonesia, Mooi Indie juga menjadi titik tolak bagi perkembangan seni rupa Indonesia yang lebih berani dan otentik. Seni harus memiliki jiwa, dan jiwa itu terletak pada kejujuran dalam menggambarkan realitas, bukan dalam ilusi keindahan yang semu.
Mooi Indie mengajarkan bahwa di balik setiap karya seni yang indah, selalu ada cerita politik dan budaya yang perlu digali lebih dalam.
iniartchive