Anak-Anak Jurang (2)
..
Pagi itu, ketika aku masuk kantor dan membuka berkas ketiga dari atas tumpukan, aku nyaris terjatuh dari kursiku.
“Verifikasi Ruang Saka. Pengajuan menjadi Sanggar Kreatif Muda Payakumbuh.”
Ruang Saka. Tempat yang kutinggalkan tanpa pamit. Tempat di mana tawa kami dulu meledak di malam-malam tanpa listrik. Tempat Raya menari dengan rambut terurai dan kaki berdarah. Tempat puisi terasa seperti bom, dan cat tembok bisa dianggap makar. Tempat sejarah dibisikkan dengan tubuh.
Dan kini, nama itu ada di map kantor pemerintah.
Aku—Damar, mantan penyair panggung, kini jadi pejabat kecil di Dinas Kebudayaan—diminta memverifikasi apakah tempat itu “layak” dijadikan sanggar binaan.
Layak?
Aku menatap tulisan itu lama sekali, seperti menatap batu nisan yang tak tahu siapa yang dikubur di bawahnya.
Aku pergi ke sana diam-diam. Tak ingin staf melihatku menyelusuri jalan ke kaki Bukit Barisan. Tak ingin mereka tahu rumah gadang reyot itu masih berdiri, meski papan lantainya sudah berlumut dan cat muralnya mulai memudar.
Di halaman, ada seorang gadis. Kurus, rambutnya pendek, bajunya penuh noda tinta. Ia sedang menggantung seutas kain putih besar bertuliskan:
“LUKA JANGAN DIBINA, BIARKAN IA BICARA.”
Namanya Gina. Seorang koreografer muda yang katanya baru pulang dari kota.
“Kau dari dinas, ya?” tanyanya sambil mengikat ujung kain ke tiang kayu. “Mau pastikan kami layak dibina?”
Aku ingin menjelaskan bahwa aku bukan seperti pejabat lain. Tapi kalimat itu terlalu memalukan untuk keluar dari mulutku sendiri.
“Aku dulu bagian dari tempat ini,” ucapku akhirnya. “Aku teman Raya.”
Mata Gina menyipit. Ia memandangku lama, seolah menimbang apakah aku masih bagian dari kami—atau sudah berubah menjadi mereka.
“Raya yang puisinya dilarang itu?” katanya. “Yang naskahnya dicuri dan suaranya diredam?”
Aku menunduk.
“Aku temukan naskah aslinya di pasar loak. Dalam tumpukan sampah buku pemerintah. Aku akan pentaskan ulang. Judulnya: Burung-Burung di Atas Tembok.”
Aku menarik napas panjang. Nama itu—judul itu—menghantam dadaku seperti tonggak. Aku yang dulu menolak naskah itu dipentaskan karena dianggap terlalu berbahaya. Aku yang dulu berkata pada Raya: “Kita akan mati kalau terus mengutuk.”
Raya menjawab: “Lebih baik mati karena mengutuk, daripada hidup dengan mulut terjahit.”
Kini, naskah itu kembali. Di tangan generasi baru yang tidak mengenalku. Tapi aku mengenali mereka.
Beberapa hari kemudian, pertunjukan itu benar-benar berlangsung. Acaranya dimasukkan ke dalam rangka Festival Kebudayaan Daerah. Panggungnya megah, aula penuh, pejabat hadir. Bahkan media lokal datang meliput.
Di belakang panggung, Gina tak berhenti berjalan mondar-mandir. Matanya seperti bara. Satu-satunya yang ia katakan padaku sebelum naik panggung hanyalah:
“Jangan coba-coba padamkan kami kali ini.”
Lampu panggung menyala.
Lagu pembuka tidak memakai alat musik. Hanya suara napas dan hentakan kaki di lantai kayu. Penari masuk satu per satu, membawa papan-papan bertuliskan kutipan dari surat tahanan, memoar penyintas, hingga catatan polisi.
“Mereka bilang, aku bukan manusia. Aku adalah ancaman karena berpikir.”
“Kami ditahan bukan karena bersalah, tapi karena mengingat.”
Panggung memanas. Penonton resah. Pejabat menggeser duduk. Di baris terdepan, aku menahan napas.
Lalu Gina keluar. Ia berdiri di tengah panggung, menggenggam naskah lusuh. Dan dengan satu gerakan cepat, ia merobeknya di depan penonton.
“Tak ada kata yang cukup untuk menyebut pengkhianatan,” katanya lantang. “Tapi hari ini, kami memilih untuk tidak diam!”
Aula meledak. Beberapa orang berdiri dan pergi. Sebagian bertepuk tangan. Sebagian bingung.
Aku tetap duduk. Dalam diriku, ada sesuatu yang pecah. Dan itu bukan amarah. Itu adalah rasa malu yang tertunda bertahun-tahun.
Tiga hari kemudian, aku dipanggil atasan. Diminta klarifikasi. Diminta menulis laporan insiden.
Aku tidak menulisnya.
Malam itu, aku datang ke Ruang Saka. Gina sedang sendiri, melipat kain pentas. Aku menyerahkan amplop coklat berisi naskah asli Anak-Anak Jurang, puisi-puisi tangan Raya, dan surat yang dulu tak sempat dikirimkan.
“Kenapa kau beri aku ini?”
“Karena yang liar harus dibiarkan hidup,” kataku. “Dan aku terlalu tua untuk jadi penjinak.”
Gina menatapku lama. Lalu ia mengambil amplop itu. Memasukkannya ke dalam ranselnya.
Aku pulang malam itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, aku merasa seperti manusia kembali.
____
Pernyataan
Cerita, tokoh, tempat, dialog, dan peristiwa yang terdapat dalam trilogi “Anak-Anak Jurang” sepenuhnya merupakan karya fiksi. Semua unsur di dalamnya lahir dari imajinasi penulis dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan atau mewakili individu, lembaga, atau peristiwa nyata secara langsung.
Apabila terdapat kemiripan nama tokoh, tempat, situasi, atau kejadian dengan kenyataan, hal tersebut adalah kebetulan semata dan bukan hasil dari niat atau maksud tertentu.
Cerita ini ditulis untuk kepentingan ekspresi sastra, refleksi sosial, dan pembacaan artistik atas ruang seni, perlawanan budaya, serta ingatan kolektif yang hidup di masyarakat. Harap dibaca dengan semangat apresiatif dan kritis sebagaimana layaknya karya fiksi.
_________
sungai | iniartchive
Namaku Alif Syahdan. Seorang pelukis. Atau setidaknya, dulunya aku pelukis. Sekarang, aku lebih sering dianggap pengganggu. Penggerutu yang tua sebelum waktunya. Tapi jangan percaya semua kata orang. Mereka cuma takut pada orang-orang yang mengingat. Aku datang dari lubang waktu yang tertutup kabut dan kisah-kisah yang tak sempat selesai. Dan kisah ini adalah salah satunya.
Aku tiba di Payakumbuh dengan sepasang kanvas lusuh, satu gitar tua, dan kepala penuh amarah. Aku tak tahu aku mencari apa, hanya tahu aku tak bisa tinggal di kota yang terlalu rapi, terlalu bersih dari ingatan. Dan di sinilah aku bertemu mereka—anak-anak jurang.
Di kaki Bukit Barisan berdiri rumah gadang yang sudah kehilangan cat dan hormat. Dari jendela yang menganga, terdengar suara alat musik, diskusi panas, kadang tangisan, kadang ledakan tawa. Mereka menyebut tempat itu Ruang Saka. Dan penghuninya bukan keluarga adat, melainkan sekumpulan seniman muda yang keras kepala, miskin, dan nekat.
“Di sinilah seni bukan jadi pelarian,” kata seorang perempuan berkacamata yang menggambar mural dengan cat kaleng bekas. “Tapi jadi senjata.”
Namanya Raya. Wajahnya teduh, suaranya seperti serpih seruling bambu. Ia menarikan tubuhnya di antara patahan lantai dan mimpi-mimpi kolektif. Dia penyair, aktivis, penari, pencatat sejarah. Dia luka yang berdansa. Dan barangkali, ia juga nyala yang menulari kami semua.
Aku tinggal di loteng, tidur di atas papan reot dan kertas-kertas ide orang lain. Pagi-pagi, kami ngopi dengan ampasnya; malam-malam, kami menggambar dengan sisa tinta. Kadang kami lapar. Kadang kami gemetar. Tapi kami tak pernah berhenti membuat. Kami tahu kami sedang dikejar waktu.
Kami mengadakan pertunjukan teater tentang tanah ulayat yang dijual di bawah meja. Kami memamerkan potret ibu-ibu petani yang dikriminalisasi karena menolak tambang. Kami merekam lagu-lagu lama dari suku Mentawai yang hendak diganti suara mesin. Kami membacakan puisi-puisi yang tak akan dimuat koran mana pun. Di setiap pentas, selalu ada satu kursi kosong: untuk penonton yang takut datang.
Kami tahu kami sedang bermain-main di mulut api. Dan api itu benar-benar datang. Suatu malam, dinding rumah gadang dilumuri cat hitam. Sebuah mural tentang perjuangan digunting di tengah malam. Besoknya, dua orang laki-laki berjaket kulit datang, menawarkan “solusi damai”—yang berarti: bubar diam-diam.
Kami menolak. Kami bukan daun-daun tua yang siap luruh. Kami akar-akar kecil yang keras kepala. Raya berdiri di depan panggung dengan mata menyala. “Kalau kita diam, cerita kita akan ditulis oleh orang yang membenci kita.”
Beberapa minggu kemudian, Raya hilang. Begitu saja. Tak ada jejak. Hanya selendang tari yang ia tinggalkan tergantung di tiang panggung. Ada yang bilang dia kabur. Ada yang bilang dia dibawa paksa. Aku tidak percaya dua-duanya. Aku tahu dia tak pernah pergi. Ia tinggal di setiap kalimat yang kami teriakkan. Di setiap cat yang kami oleskan.
Malam-malam setelahnya aku menulis surat untuknya. Surat yang tak pernah kukirim. Surat tentang panggung yang retak, tentang potret wajahnya yang mulai pudar, tentang kabut yang tak mau pergi dari lereng bukit ini. Tapi juga tentang anak-anak baru yang datang. Anak-anak yang bahkan tak tahu siapa itu Raya, siapa itu Alif. Tapi mereka tahu satu hal: bahwa di Ruang Saka, mimpi bisa tumbuh meski akar penuh luka.
Sekarang aku duduk di jendela, memandang langit Payakumbuh yang selalu tampak muram. Tanganku tak lagi kuat untuk melukis, tapi aku masih bisa bercerita. Tentang ruang-ruang kecil yang melawan dilupakan. Tentang anak-anak jurang yang tak sudi diam. Tentang nyala yang tak padam, meski kabut terus turun dari gunung.
Di tiang utama Ruang Saka, tertulis kata-kata yang pernah diucapkan Raya:
“Jika kita tidak menuliskan sejarah kita sendiri, orang lain akan menuliskannya untuk kita—dan mereka akan lupa mencatat luka kita.”
Maka aku menulis ini, bukan untuk dikenang, tapi untuk mengingatkan: kesenian bukan milik galeri. Ia milik rakyat yang tak punya suara. Ia milik anak-anak jurang yang terus tumbuh, melawan arus, dan menulis bab baru sejarah kita.
____
Pernyataan
Cerita, tokoh, tempat, dialog, dan peristiwa yang terdapat dalam trilogi “Anak-Anak Jurang” sepenuhnya merupakan karya fiksi. Semua unsur di dalamnya lahir dari imajinasi penulis dan tidak dimaksudkan untuk menggambarkan atau mewakili individu, lembaga, atau peristiwa nyata secara langsung.
Apabila terdapat kemiripan nama tokoh, tempat, situasi, atau kejadian dengan kenyataan, hal tersebut adalah kebetulan semata dan bukan hasil dari niat atau maksud tertentu.
Cerita ini ditulis untuk kepentingan ekspresi sastra, refleksi sosial, dan pembacaan artistik atas ruang seni, perlawanan budaya, serta ingatan kolektif yang hidup di masyarakat. Harap dibaca dengan semangat apresiatif dan kritis sebagaimana layaknya karya fiksi.
_________
sungai | iniartchive
Asap keluar dari bibir hitam dengan sudut keriput yang tak bisa disembunyikan, tak ingin juga disembunyikan. Tangan menggenggam kendali mesin yang menderu di belakangnya. Kulit gelap terbakar terik dan sepanjang hari digarami laut.
Beberapa ekor tongkol berjejal dalam kotak stereoform tanpa es. Sesekali matanya memandang ikan lalu kembali memandang ke kejauhan, hamparan garis pantai, daratan tempatnya berlabuh, tempat keluarganya menanti.
Hasan, lelaki tua dengan baju kumal yang melekat erat di tubuhnya, lengket oleh butir-butir air laut yang tertiup. Lengket oleh hujan yang jatuh disaat yang bersamaan, kemudian mengering oleh waktu.
“semoga cukup untuk modal besok” Hasan bergumam di antara asap yang dihembuskannya.
Gelombang telah mengombang ambingnya, pasang surut juga begitu serig mempermainkan, demikian juga dengan angin dan arus yang datang seenaknya. Namun satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya memulai hari lebih pagi, menjelajah laut lebih jauh.
Hari itu air sedang pasang, namu sayang pasang air laut tidak berbanding lurus dengan keberuntungan untuknya, berarti tidak pasang juga untuk keluarganya.
Tangan gelap, keriput, pembuluh darah tegas menjalar dan membelit, dengan lihai menggerakkan tuas kemudi. Mengatur arah baling-baling yang berputar di bawah permukaan air. Mencari celah diantara gulungan ombak. Daratan yang kian jelas di depan mata menjadi stimulant, obat kuat untuk tubuh yang telah kelelahan melempar kail di tengah gelombang yang melindungi ikan-ikan yang berenang di bawahnya.
“sial baunya keras sekali” tiba-tiba sebuah kalimat terucap, tidak bisa ditahannya.
Matanya mencari sumber aroma yang mengganggu hidungnya, menyisir pantai yang hendak di tuju. Beberapa sampan tampak bergoyang-goyang dikejauhan, sementara sampan-sampan yang lain telah berbaris di atas pasir. Sampan yang telah tiba lebih dahulu. Tiba sebelum dia.
Kepulan asap tebal membungbung dari sebuah kapal yang bersandar di dermaga.
“sial kenapa asap setebal itu dibiarkan saja” katanya ketika berhasil menemukan sumber aroma tajam yang menusuk hidungnya.
Sebuah tuas yang lain di tarik, baling-baling berputar lebih kencang, air memercik, sampan melaju lebih cepat menuju daratan, sementara asap dari kapal tongkang di dermaga tak kalah cepat tertiup ke daratan.
Mendekati bibir pantai lelaki itu mematikan mesin, dua orang lelaki lebih muda yang sedang berada di pantai menghampiri sampan. Memasauki perairan yang kian dangkal, Hasan melompat dari sampan, turun ke dalam air.
Dua orang warga membantu mendorong sampan ke atas pasir.
Aroma tajam kiat menusuk.
“kalian tidak menciumnya?” Tanya lelaki tua setelah berhasil mencapai daratan.
“iya. tercium” jawab sandek ketika sampan telah berlabuh di atas pasir. “dapat?”
“sedikit, gelombangnya tinggi sekali. Tidak ada ikan yang mau narik” jawab Hasan. “itu lho asapnya hitam sekali” Hasan melanjutkan.
“ya mau bagaimana lagi, nanti juga hilang” sandek menjawab. Sandek, salah satu warga yang membantu mendorong sampan ke tepian. Sosok yang telah bertahun-tahun menjadi tetangga.
“dari jam berapa asap ini?” Hasan bertanya sambil menutup hidung dan melangkah hendak mengambil kotak putih berisi nafkah yang berhasil dikumpulkannya dari laut sepanjang hari itu.
“dari pagi, sekitar jam 8 an” kata Jovan, rekan Sandek dengan kaos merah jejak pemilu tahun lalu.
“sudah dari pagi dan kalian diam saja?” Hasan bertanya dengan nada tinggi.
Kedua tangannya tak lagi menutup hidung berganti mangangkat kotak putih dan membawanya melangkah meninggalkan sampan.
Asap mengepungnya, menyusup masuk dalam hembusan nafasnya, menggelitik dinding kerongkongan, memicu batuk yang tak bisa dibendungnya.
Rekan-rekan yang membantunya menepikan sampan menggerumuni isi kotak. Dilihatnya beberapa ekor ikan berjejal di dalam kotak. “kalian mau?” lelaki tua itu menawarkan hasil tangkapan pada Sandek dan Jovan, rekan yang telah membantunya mendorong sampan.
“aku minta seekor” kata Sandek menjawab sambil mengambil beberapa ekor ikan tongkol.
“kamu mau?” Hasan menoleh Jovan, sosok yang lebih muda dengan tubuh yang lebih kekar.
“tidak usah” dia menolak, “jual aja, tadi siang aku sempat turun di pinggir” Jovan melanjutkan.
Asap terus bertiup dari kapal tongkang yang bersandar di dermaga. Kapal tongkang yang penuh memuat batu bara. Asap hitam pekat menyusup tertiup angin. Bergiliran suara batuk dan ludah keluar dari mulut para lelaki yang sedang di pantai sore itu.
Di antara asap dan senja, anak-anak melempar tawa dan canda di antara ombak yang tak pernah menyerah merayap menyentuh bibir pasir.
Hasan menutup mesinnya dengan perlak plastic, menyembunyikannya dari hujan, dari embun, dan uap air laut. Menyembunyikan alat produksi penghidupan keluarganya. Menyembunyikan dengan rapat sebelum akhirnya melangkah meninggalkan pantai menuju rumah.
Bangunan berhimpitan, dia menyusup mengikuti asap yang telah sedari pagi datang mendahuluinya. Meninggalkan satu halaman memasuki halaman yang lainnya. Beberapa perempuan tampak samar di balik asap, berdiri dengan anak dalam gendongan. Berusaha menarik nafas semampunya. Sementara lampu-lampu satu persatu mulai menyala, temaram di tengah kepungan asap, orang-orang tua memilih bersembunyi di tengah ruangan membiarkan bayangan mereka diwujudkan cahaya lampu dan tertangkap mata Hasan.
Tiba di sebuah teras berlanatai semen kusam, dinding hijau muram menahan langit-langit abu. Seorang perempuan keluar dari dalam ruangan.
“sudah dari pagi asapnya tak kunjung berkurang” kalimat sapaan yang dilemparkan pada Hasan yang belum lagi menaruh kotak yang dibawanya.
“kenapa tidak dilaporkan?” jawab Hasan sambil meletakan kotak ikan yang dibawanya.
“siapa yang berani melaporkan?” jawab perempuan di hadapannya.
“ya sudah ini timbang dulu ikannnya, dapat sedikit,” Hasan menjawab.
Perempuan itu mengambil kotak putih yang diletakkan Hasan kemudian melanngkah meninggalkan teras, masuk lebih dalam ke dalam kepungan asap.
“sial” gumam hasan sambil melangkah meninggalkan teras menuju kamar mandi yang ada di ujung pekarangan.
Tubuh yang lengket oleh keringat dan uap asin air laut, lelah setelah memecah gelombang sepanjang hari, dan hasil tangkapan yang tak seberapa menjejal dalam diri Hasan.
Jejalan yang kian sesak dengan kenyataan rumah tempat keluarganya berada, tempat dia akan pulang dan merebahkan diri ternyata pekat oleh asap hitam, tebal.
Sebuah sambutan yang membuat jejalan kian menghimpit, kian menyesakkan.
Tanpa berbicara sepatah katapun Hasan keluar dari kamar mandi dengan subuah handuk kumal, masuk kedalam rumah dan kembali keluar dengan pakain yang cukup bersih.
Wajahnya terlihat lebih segar walau tetap saja amarah tidak bisa disembunyikan. Amarah yang bisa terlihat dengan jelas keluar dari tatapan matanya. Tampak jelas dari gerak tubuh dan langkah kakinya.
Dia melangkah meninggalkan rumah, melangkah diantara batuk, ludah yang terus dikeluarkan dan usaha tetap bernapas.
“Sandek… Sandek…” Hasan berteriak di halaman sebuah rumah.
“ada apa San?” seorang perempuan tua muncul sambil terbatuk-batuk. Menyusul beberapa warga bermunculan.
“Sandek mana Mak?” Hasan menanyakan keberadaan rekan satu kampung yang tadi sore membantunya mendorong sampan ke pantai.
“Ndak ada di rumah, masih di pantai sepertinya” perempuan tua itu menjawab, suara batuk lemah mengikuti gerakan otot-otot rentanya. “memangnya ada apa San?” Tanya perempuan tua itu.
“asap ini mau diiarkan sampai kapan” jawabnya sambil melangkah menuju pantai. Langkah yang diikuti beberapa pemuda dibelakangnya.
Disebuah gubuk terlihat Sandek sedang berbincang dengan lelaki lainnya.
“Sandek….” Suara Hasan membuat sandek memalingkan lehernya, terkejut, menoleh ke arah suara.
“bagaimana mmungkin kau bisa diam melihat asap setebal ini?” Hasan langsung menyerangnya.
“terus kamu mau bagaimana?” jawab Sandek spontan.
“iya San asapnya memang tebal, sudah dari tadi pagi” lelaki di hadapan Sandek menimpali.
“lalu kenapa kalian yang sedari tadi di rumah hanya diam saja?” Hasan kini bertanya pada dua lelaki yang sedari tadi menikmati senja dan asap di seuah gubuk di pinggir pantai.
“kamu mau kami melakukan apa?” Tanya sandek.
“ya suruh mereka menyingkirkan asap ini” katanya menjawab.
“kakmu kira asap ini bisa dibungkus?” Sandek membalas dengan pertanyaan.
“hahahaha” lelaki yang ada di sebelah Sandek tertawa spontan mendengar jawaban Sandek.
“sial, aku sesak menihirup asap ini” kata Hasan. “apa kalian tidak merasakannya?”
“iya, anakku juga susah bernafas gara-gara asap ini” suara seorang pemuda yang sedari tadi melangkah mengikuti Hasan.
“San,ini bukan kali pertama asap masuk ke kampung kita” kata Sandek.
“iya, tetapi tidak pernah setebal ini” kata Hasan, “ini sudah dari tadi pagi dan mereka tidak juga punya niat baik menghentikan asap ini” lanjut Hasan.
Asap terus mengepul dari tongkang yang masih menempel di dermaga, berhembus tersamarkan gelap, kemudian mewujud jelas di bawah cahaya lampu. Suara batuk bersahutan dari dalam rumah, tersamarkan deburan ombak yang tidak pernah berhenti.
“Sandek, kamu kepala lingkungan, kamu seharusnya yang menyampaikan keluhan kami, wargamu” kata Hasan.
“yang mengeluh kan hanya kamu, warga yang lain yang lebih dahulu mencium asap ini saja tidak secerewet kamu” kata Sandek.
“hanya karena mereka tidak cerewet bukan berarti mereka nyaman dengan asap yang menyengat ini, atau hidungmu sudah rusak?”
“apa kamu terganggu Man?” hasan bertanya pada lelaki yang duduk di sebelahnya.
Iman hanya diam, tidak sepatah katapun muncul dari mulutnya.
“kamu terganggu Rus” Tanya Sandek pada Rusdi pemuda yang tadi mengeluh dan masih berdiri dibelakang Hasan. “kamu mau komplain ke sana Rus?” lanjutnya Sandek.
Hasan melihat wajah Rusdi yang tersamarkan gelap malam dan hembusan asap.
“kalau kamu mau Komplain Rus, sana komplain sendiri” Sandek melanjutkan sebelum Rusdi menggerakkan bibirnya untuk menjawab.
Satu persatu lelaki berdatangan dari arah cahaya pemukiman warga, beberapa orang diantaranya menggunakan penutup hidung alakadarnya.
“kamu tidak bisa seperti itu, kamu kepala lingkungan, yang kami tuakan” kata Hasan.
“tapi aku tidak merasa terganggu” jawab Sandek, “lagi pula jangan lupa San, kau sudah menerima apa, kamu ingat kan? Atau perlu aku ingatkan?” Sandek mengungkit apa yang sudah diterima warga di lingkungan yang dipimpinnya.
Wajah hasan memerah, geram mendengar kalimat dari yang dilontarkan Sandek.
“maksudmu apa?” Tanya Hasan denga nada tinggi. “jadi hanya karena aku menerima pemberian mereka maka aku tidak boleh mengeluh?”
“aku hanya mengingatkan San, warga kita sudah menerima banyak bantuan dan tidak mempermasalahkan keberadaan mereka. Kamu mau ingkar dari apa pilihan sikapmu mendukung mereka?” Tanya hasan.
“persoalannya sekarang asap mereka sudah keterlaluan, jika asapnya tipis dan sebentar aku tidak masalah, ini sudah seharian dan pekat. Kamu tidak dengar suara batuk-batuk itu?” kata hasan.
“jadi karena asap ini kemudian kamu akan mempermasalahkan dan melupakan pemberian mereka?” Sandek bertanya.
“ayolah Hasan ini bukan hal baru yang pertama kali terjadi, sebentar lagi juga hilang tertiup angin” Iman mencoba menenangkan Hasan.
“Man, mungkin kamu tidak sesak. Kamu Juga tidak punya bayi, jadi kamu bisa bilang seperti itu” kata Hasan. “memang ini bukan kali pertama asap masuk ke kampung kita. Aku tahu itu”
“namun karena baru kali ini kejadiannya separah ini. Asap setebal dan semenyengat ini. Dan kebakaran yang terjadi seolah dibiarkan begitu saja.” Suara Hasan kian tinggi. “kita tidka bisa membiarkan kebakaran batubara di tongkang mereka dibiarkan begitu saja, mereka harus berusaha memadamkannya”
“karena itu maka kita harus segera mengingatkan mereka, agar mereka tidak kebiasaan seenaknya. Lagi pula ini sudah berlangsung dari pagi dan tidak kunjung hilang, bagaimana mungkin asap ini akan segera hilang?” hasan masih berbicara.
Beberapa warga kian ramai berdiri disekitar gubuk.
“jika tidak diingatkan, mereka tidak akan melakukan apa-apa. Jika kalian mau menunggu, menunggu sampai kapan? Sampai batubara diatas tongkang itu habis jadi abu?” Hasan melempar pertanyaan dengan pandangan tajam menatap Sandek dan sesame warga yang sedari tadi hanya duduk di gubuk.
“tunggu saja, sebentar lagi batubara di tongkang yang terbakar itu juga akan habis diangkut ke dalam” jawab Iman.
“tunggu, tunggu sampai semua sesak nafas, tunggu sampai cucuku muntah-muntah?” kata Hasan. “atau tunggu sampai satu persatu bati, orang tua dan anak-anak dilarikan ke UGD?
“Sandek, jika kamu tidak mau bicara sama mereka untuk menyingkirkan asap ini maka aku yang akan ke sana sendiri” lanjut Hasan.
“lakukan San, lakukan saja!! Tunjukkan betapa tidak tahu dirinya dirimu, kemarin menerima hari ini komplain” serang Sandek.
“ini persolan berbeda, sekarang mereka keterlaluan, membiarkan asap sedemikian pekat masuk ke kampungku. Masuk ke dalam rumahku” jawab Hasan.
“lalu kenapa baru sekarang? Kenapa kemarin-kemarin kamu menerima pemberian mereka?”
“karena kemarin-kemarin tidak sepekat ini. Kau lihat bagaimana warga susah bernafas hari ini dan kau hayna memilih diam” balas Hasan.
“aku diam karena aku sadar, kita sudah menerima begitu banyak pemberian dari mereka. Kita sudah menandatangani pernyataan menerima keberadaan mereka dan tidak merasa terganggu” Sandek mengingatkan bagaimana sikap warga yang dipimpinnya selama ini.
“ini persoalan lain, aku tidak mau keluargaku mati kercunan malam ini. Jika kau tidak mau menemui mereka cukup diam Sandek, aku yang akan ke sana” Hasan berbalik, mengakhiri perdebatan tak berujung dengan Sandek.
“jika ada yang mau ikut ayo.. jika tidak aku akan ke sana sendiri” kata Hasan pada lakilaki yang hadir di pantai malam itu.
“sana pergi. kalau perlu komplain aja lebih besar agar kampung kita dapat bantuan lagi” kata Sandek.
“tutup mulutmu..!!!” balas Sasan pendek sambil melangkah menuju ke arah dermaga. Langkah kakinya diikuti Rusdi dan beberapa warga lain yang yang sepakat dengan Hasan.
Suara ombak menyamarkan langkah warga yang mendatangi sumber asap, mendatangi PLTU yang menjadi tetangga mereka, mengadukan bagaimana asap masuk memenuhi kampung, menyusup kedalam rumah, menyamarkan terang lampu, masuk ke bilik-bilik dan meniduri kasur, menjejak selimur, menggenggam tiap serat. Masuk menyusup dalam tiap rongga, terhisap, sesak, mencekik, menyesakkan.
***
Siang begitu gerah, meski sedang tepat di atas kepala awan kelabu yang melapisi langit mencegah sinar matahari leluasa memamerkan teriknya. Beberapa mobil truck tampak parkir rapi, pengemudinya duduk di emperan warung, menunggu makan siang mereka dihidangkan si pemiik warung.
“katanya si hasan bersama beberapa warga semalam protes ke PLTU” kata seoarang lelaki, Si Pemilik warung yang sedang menyiapkan pesanan sebuah minuman sachet.
“Iya, katanya sih begitu, gara-gara asap batubara yang terbakar masuk ke kampung mereka” kata seorang lelaki dari atas motor. Lelaki yang memesan sebuah minuman sachet.
Kedekatan diantara mereka membuat transaksi jual beli tidak perlu dilakukan dengan basa-basi sopan santun.
“aku juga dengar begitu” kata Si Pemilik warung sambil menuangkan air ke serbuk kuning minuman sachet yang telah terlebih dahulu berada di dalam gelas.
Di sebelahnya seorang perempuan sibuk mengambil lauk untuk dijejalkan pada piring yang telah berisi nasi.
“nah itu mukanya si Hasan ketika kemarin bilang kalau PLTU tidak mengganggu” kata lelaki yang duduk diatas motor menujuk Koran yang sedang di buka oleh salah satu pengunjung warung yang duduk di dekatnya parkir, menunggu.
Pengunjung yang sabar menunggu giliran nasi pesanannya tiba.
“ini koran lama Pak” celetuk Si Pengunjung, menjelaskan koran yang dalam genggamannya merupakan koran lama yang tergeletak di meja warung. Tergeletak begitu saja, kumal.
Lelaki di atas motor hanya tersenyum melihat penjelasan Si Pengunjung yang masih dengan koran dalam genggamannya. Matanya bergerak dari satu kata, ke kata selanjutnya, dari satu kalomat ke kalimat lain, dari satu paragraph ke paragraph kemudian. Sementara telinganya dengan seksama menunggu lanjutan obrolan dari pemilik warung dengan lelaki di atas motor.
Mencoba mencari hubungan antara berita yang dibaca dengan obrolan dua lelaki yang tiba-tiba harus didengarnya.
“setidaknya dia sekarang sudah merasakan secara langsung bagaimana dampaknya, jadi tidak hanya sekedar dakang-dukung” kata Si Pemilik warung sambil melangkah dari dalam warung dengan minuman sachet berwarna kuning, dengan es batu, dingin, dalam kantong plastic di tangannya. Melangkah menuju di pembeli yang masih duduk diatas motor.
“iya, jadi besok-besok tidak langsung dukung hanya karena sekilo daging qurban” kata lelaki di atas motor sebelum menerima kantong plastic berisi minuman sachet dingin. Menyerahkan selembar rupiah. Melempar sebuah senyuman pada Si Pemilik warung lalu kemudian berlalu bersama sepeda motornya.
L. Taji
20.1.19
Edited
02.25
“hai..hai...” Naira, bocah perempuan meneriaki Fari dan Rafi yang sedang sibuk berlarian,berkejaran.
“Ahh…” Fari bergumam, sambil tak memperdulikan Naira dan terus mengejar Rafi.
Matahari menggantung tepat di atas kepala, hamparan rumput hijau luntur, debu terbang menempel pada keringat, pada wajah hitam terbakar siang.
Sebuah botol diselipkan di sisi roda sepeda mungil, suara yang dihasilkan memicu semangat Fari untuk semakin cepat mengayuh. Sementara Rafi dan Naira kini tertawa melihat ekspresi Fari yang terus mencoba menghasilkan suara nyaring menyerupai knalpot motor bersuara nyaring, knalpot 2 tak, khas brandalan desa.
Perempuan tua duduk di sebuah bale yang diletakkan di bawah pohon juwet. Lokasi teduh yang menjajikan hembusan angin. Siapa yang kuat di dalam rumah, ketika ruangan telah menjadi sauna yang memeras keringat. Beberapa ekor sapi melintas, menghidari paparan matahari, mencari rumput yang lebih hijau, lebih berair. Dahaga lebih menyiksa dari pada lapar.
Di sebuah pondok berdiri di utara ujung halaman, menjadi sebuah posko pemantau. Semua yang melintasi padang rumput akan terlihat jelas. Pekerja pabrik dengan helm kuning, pelindung kepala dari benturan, namun sayangnya tidak cukup mampu untuk melindunngi kepala dari susupan akan kenyamanan yang disuapkan. Sepatu boot untuk melindungi kaki dari benda tajam tapi tak membuat langkah lebih ringan. Seragam yang membuat mereka tampak lebih gagah, tetapi kehilangan kepekaan untuk tergugah. Pegawai pabrik yang sering melintasi padang rumput yang mereka ciptakan. Padang rumput yang kian hari kian gersang.
Pasak-pasak raksasa teronggok, tersusun di salah satu sudut tanah lapang,tersusun rapi. Sementara reruntuhan bangunan menjadi ornamen yang menghiasi padang rumput. Jejak rumah, jejak keluarga yang kalah, menyerah, kalah. Puing-puing kekelahan yang belum ditelan kekuatan tamak kemajuan jaman.
Dan bocah-bocah berlarian di antara puing, ornamen kekalahan dan rumput yang kian hari semakin pudar.
“Fari...” perempuan tua itu memanggil “taruh sepedanya!” perintahnya.
Perintah yang lahir dari kalimat, kalimat yang tak dihiraukan.
Fari semakin cepat mengayuh, semakin menjauh meninggalkan halaman, suara yang dihasilkan semakin nyaring.
“ayo cepat” suara Rafi tidak sabar, meminta Fari kian cepat mengayuh. Tidak sabar menanti giliran.
Sementara Naira hanya tertawa melihat kelakuan kakak-kakak sepupunya.
Perempuan tua itu hanya bisa melihat bocah-bocah kecil pembawa kecerian ke halaman rumah. Halaman rumah yang kian kering dan gersang.
Dia tak bisa membayangkan betapa sepi rumahnya jika tidak ada cucu-cucunya itu. Betapa sunyi rumahnya jika dia hanya hidup dengan sang suami,lelaki yang tidak kalah lelah, tidak kalah renta,tidak kalah keriput.
Lelaki tua yag telah kehilangan ketegapannya, yang hannya bisa duduk di pondok dibawah pohon asam, sambil melihat semua yang melintas dihadapannya. Sesekali menyalurkan keisengannya, menggunakan ketapel untuk membidik sapi tetangga yang coba masuk ke pekarangan, masuk untuk menikmati rumput yang tampak lebih hijau dari kejauhan.
Bocah-bocah itu masih berlarian, kini sepeda tidak lagi di bawah kendali Fari. Pedal sudah berada di bawah kaki Rafi,yang tidak kalah kencang mengayuh, memacu sepeda dengan suara nyaring hasil gesekan roda dengan botol air mineral yang disepilkan, melaju kencang menuju sisa-sisa reruntuhan.
“kak Rafi…” Naira berteriak, memberi semangat, mencari perhatian. Fari menatap sodaranya memacu sepeda. Memandang, terengah, dengan keringat dipelipis dan wajah hitam terbakar.
“sudah,berhenti dulu!” perempuan tua berteriak.
Teriakan yang tak lagi dihiraukan, tak pula cukup kuat untuk membuat ke tiga bocah itu berhenti melakukan yang mereka suka.
Suara yang keluar,seberapapun kerasnya tetap saja hanya sebuah suara perempuan tua. Seperti halnya tangan dan jemari yang telah dirayapi waktu, berkerut, keriput.
Demikian pula dengan pita suaranya. Pita suara yang kian mengendor, meleleh, membuat suaranya tak lagi bisa selirih dan lantang dahulu. Tidak lagi sekuat ketika nafas masih panjang, lengan masih kencang mengontrol jemari untuk cekatan melakukan semua pekerjaan.
Tidak lagi seperti ketika bahu masih kencang membahu, melihat semua celah mengambil kesempatan demi bisa bertahan dan menghidupi anak-anak yang lahir dari rahimnya. Menghidupi anak-anak yang kini telah memberikannya cucu-cucu.
Salah tiganya, cucu-cucu yang kini ada dihadapannya. Berkeliaran bermain dihadapannya. Berlarian di halaman dengan asik bermain, di tengah terik hingga tak lagi mendengar nasehan, arahan dan kekhawatiran yang diteriakkan.
Tiga orang bocah yang tidak pernah sempat melihat bagaimana perempuan tua yang sedang mengawasinya tersebut membesarkan orang tua mereka. Terjaga sebelum kumandang adzaan subuh, yang kemudian dalam sunyi mengumandangkan keyakinan akan harapan untuk orang tua mereka yang masih terlelap. Menghadirkan sarapan di meja makan yang siap disantap, ketika orang tua mereka baru membuka mata dan memutuskan turun dari tempat tidur.
Lalu ketika orang tua mereka pergi mengenakan seragam, menuju ruang-ruang kelas yang menertibkan, perempuan tua itupun melangkah meninggalkan rumah, menuju ladang.
Sepetak tanah yang diwarisi dari mertuanya, warisan yang didapatkan sang mertuanya dari mertua sebelumnya. Demikian sepetak tanah yang kini masih didiaminya turun, dari beberapa generasi di atas diturunkan hingga kini dan kemudian nanti ke cucu yang kini sedang berlarian di sekitar petak tanah terssebut.
Hal tersebut akan berlangsung, jika tenaga dan suaranya masih bisa terdengar sekuat keyakinan dan imannya, dan jika anak-anaknya memiliki keyakinan dan iman yang serupa.
Pada akhirnya dia hanya perempuan tua, yang semenjak kelahiran pertamanya mendedekasikan hidupnya untuk kehidupan anak dan anak-anak yang dilahirkan oleh anak-anaknya. Dan apapun yang dimilikinya pada akhirnya akan diserahkan pada anak-anaknya, kecuali luka dan duka, yang disimpan rapat. Disimpan jauh di dalam belulang yang terbungkus otot dalam kulit yang kian berkerut.
Hingga kini ketika otot-otot mengendur dan kulit meleleh, luka dan duka tetap dikuncinya rapat-rapat.
Bahkan ketika kini suaranya tak lagi cukup dihiraukan, cukup dihiraukan untuk membuat ketiga bocah itu meringkuk duduk di dipan di bawah pohon sambil menunggu terik berlalu, dia masih setia menjaga anak-anak dari anaknya, menjaga agar mereka baik-baik saja. Baik-baik saja dalam menikmati permainan yang menggembirakan mereka.
“Kak Rafi... Kak Rafi” Naira berteriak, dengan huruf r belum terucap dengan tegas.
Rafi masih asik mengayuh sepeda di atas lantai yang tersisa. Lantai yang telah ditinggalkan, lantai yang masih tampak jelas.
Sisa lantai rumah dari mereka yang dahulunya menjadi tetangga. Sisa lantai dan sisa dinding yang telah menjadi puing. Sementara bangunan lainnya telah rata dengan tanah dan menjadi lapang ditumbuhi rumput. Rafi dan Fari, 2 bocah yang masih setia bermain di area tersebut, sesekali Naira ikut menambah keceriaan dan keriangan. Naira hanya bisa bermain bersama kedua kakaknya ketika salah satu atau kedua orang tuanya datang mengunjungi neneknya. Seorang perempuan tua yang masih setia menjaga tanah,tempat dia tumbuh. Tanah yang diwariskan ke padanya. Tanah yang menjadi ruang dia merawat keluarganya.
Satu persatu tetanga merelakan warisannya. Meninggalkan tanah merelakan rumah. Ganti untung tiba bersama dengan serangkaian mimpi yang dihembuskan tentang tanah baru. Rumah baru. Mimpi yang mekar seiring nominal rupiah yang masuk dalam rekeing, dengan jumlah nol tidak sebanyak biasanya. Nominal yang hadir sebagai kompensasi atas tiap jengkal amanah, tiap inchi ingatan, dan cerita terampas.
Nominal menjanjikan tanah baru, rumah baru dan cerita baru.
Dan kaki harus diangkat, langkah harus diayun dan warisan, amanah dan segala ingatan harus ditinggalkan. Mimpi dan harapan baru harus disosngsong.
Dan di depan kerugian meyambut. Kerugian utama tentu rasa bersalah telah melepaskan amanah. Amanah dalam bentuk tanah waris yang harusnya mereka jaga untuk kemudian bisa diteruskan kepada anak-anak yang lahir setelahnya. Warisan yang dimanatkan untuk generasi yang lahir kemudia, generasi-generasi yang kemudian menjadi dahan dan batang pohon keluarga mereka.
Penyesalan pertama yang harus mereka ratapi di balik dinding-dinding rumah baru,hasil penggantian tanah dan bangunan mereka.
Penyesalan bahwasanya kini mereka harus hidup di tempat yang baru, dengan kebiasaan yang baru kemudian menyusul. Keluarga di depan rumah yang dahulu bisa diajak berbagi lelah kini sudah tak ada lagi. Berganti dengan keluarga yang belun dikenal dan tak tahu apakah mereka punya telinga yang sama, punya mulut yang sama, punya hati yang sama untuk kemudian ikut bersama-sama merasakan bagaimana hari yang dilalui begitu melelahkan.
Penyesalan yang kian menghimpit ketika mendapati rupiah yang didapat kian menipis setelah terkuras oleh apa yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Terkuras oleh segala ingin yang selama ini menjadi angan yang diidam-idamkan dan membuat mereka semakin giat bekerja untuk mewujudkannya.
Bahkan ketika beberapa angan berhsil mereka wujudkan, mereka tidak lagi tahu apa yang harus dikejar dan bagaimana mengejarnya, ketekunan dan kerja keras seolah menguap setelah mimpi tak lagi menjadi mimpi. Dan bahkan ketika mimpi yang berhasil diwujudkan rasanya tak seperti dalam bayangan, sebagaimana ketika mimpi itu masih berupa sebuah impian.
Sementara kesederhanaan telah roboh tepat ketika bangunan-bangunan yang berhasil dibangun dengan ketekunan dan keuletan roboh oleh buldoser kemajuan yang dijanjikan.
“nek,ada roti?” Fari tiba-tiba bertanya pada perempuan tua yang melempar pandangannya jauh ke kompleks bangunan beratap genteng yang masih terlihat coklat.
“minta sama ibu sana” jawabnya. Tidak ada sesuatu yang bisa langsung didapat dengan sekali minta.
“aduh,fari males minta sama ibu” Fari memohon “ada ndak nek?”
“ada, ambil di toples dikamar nenek” belum lagi kalimatnya selesai Fari sudah berlari meninggalkan perempuan tua itu “ambil juga buat adik-adikmu”.
“iya” teriak Fari.
Naira hanya melihat kakak sepupunya berlari masuk ke dalam rumah. Bayangan pohon memanjang ke barat. Perempuan tua itu mengalihkan pandangannya, dilhatnya Rafi masih asik dengan sepedanya dan puing-pung rumah tetangganya.
Ada ingatan bagaimana dahulu mereka bisa saling berbagi obrolan diteras rumah itu. Berbagi cerita tentang sayur apa yang dia masak, tentang ikan yang bisa digoreng, tentang cabai dan sayur yang bisa dipetik. Tentang rumput yang paceklik, tentang biaya anak-anak sekolah yang mencekik.
Ada kekhawatiran yang melintas, sampai kapan dia akan kuat mempertahankan amanat ini, sampai kapan dia bisa menjaga keyakinannya, sampai kapan anak-anaknya akan mendengar suaranya. Bukankah kemajuan dan iming-iming hidup yang lebih baik selalu lebih manis dari apa yang sebenarnya harus ditanggung. Di tengah tubuh yang kian merenta, nama obat yang kian panjang ditulis di kertas resep, nafas yang kian sesak, suara akan menjadi semakin kecil. Apalagi jika pada kenyataannya panen dari sepetak kebun telah menghanatinya.
Kekhawatiran yang terpancar dari matanya, bertahan adalah pilihan yang berat. Bertahan menjaga amanat selalu berat, lebih berat dari pada ketika menginginkan dan akhirnya bisa menggenggam amanat tersebut.
Apalagi ketika bertahan menjaga amanah, warisan yang diwariskan dengan bersading, bertetangga sebuah cerobong raksasa yang dengan konsisten menghembuskan asap abu-abu ke angkasa.
Racun yang terus dihembuskan ke udara mengiringi deru mesin yang terus menyala. Sementara usia menua otot pernapasan kian renta, tubuh harus ditopang dengan rutin menyambangi dokter dan menebus daftar obat yang terus bertambah. Sementara kondisi tubuh terus menurun, biaya kesehatan kian naik dan harus ditanggung sendiri. Sementara keyakian harus terus ditenenun, udara terus diracuni. Dan perempuan tua itu harus tetap bertahan dalam kubangan yang kian mengering.
“Rafi” Fari memanggil adiknya dengan mulut telah berisi segigit roti. Menunjukan roti yang dia ambilkan untuk adiknya. Roti ditangan Naira juga telah menyapa bibirnya.
Rafi mengayuh sepeda menghampiri kakanya “kamu mau?” Rafi menawarkan sepedanya pada sang kakak.
“tidak. kamu aja” jawabnya pendek.
Perempuan tua itu seoalah telah kehilangan seleranya pada makanan. Bahan makanan yang dahulu bisa didapatkan dengan mudah dari kebun atau dibawa dari laut oleh suaminya kini seolah menjadi dongeng.
5 tahun kehadiran tetangganya, sebuah PLTU Batubara telah berhasl merenggut segalanya. Tanah yang subur, laut yang makmur kini hanya menjadi hikayat dalam syar-syair puitis penyair gombal.
Ladang yang bertahun-tahun menghidupi dia dan keluarganya kini telah mengering, air yang dibawa akar-akar pohon untuk mengisi sungai telah lama menghilang seiring hilangnya pohon-pohon yang dibabat untuk persiapan lahan pembangunan PLTU tahap ke-2.
Haya cekungan-cekungan kering yang ditumbuhi perdu dan lembab akibat sisa huja yang terperangkap. Kelapa yang setia menyusuinya setiap dua bulan kini telah menghianatinya, sudah 4 bulan dia harus melalui hari tanpa sebutir kelapa yang bisa dia uangkan. Laut yang dahulu selalu membiarkan anaknya memanen ikan kini lebih sering mengembalikan putranya, pulang ke rumah setelah seharian terombang-ambing dengan tangan hampa, tanpa seekor ikan pun.
Tapi amanat terus harus dijaga, keyakianan tetap harus dirawat, meski dia tahu racun juga harus terus dia dan keluarganya hirup.
“sudah kalian mandi, lalu masuk rumah” perempuan tua itu menyuruh ketiga cucunya. Menyadari semakin lama mereka berada dihalaman, semakin banyak pula racun yang dihembuskan PLTU harus mereka hisap.
Racun yang harus dihisap oleh Naira, Fari dan Rafi. Adalah racun yang sama yang harus dihisap oleh si perempuan tua. Bahkan suaminya ,anak-anaknya, anak dari anak-anaknya dan bahkan cucu dari cucu-cucunya akan menghisap racun yang sama, racun yang hadir dan menjadi tetagganya. Menjadi tetangga tanpa tanta meminta ijin, hadir memaksa dan terus dia tolak hingga hari ini.
L.Taji
“apa yang kau masak hari ini?”
Tentu saja pertanyaan itu datang begitu saja, danatang walau tidak kemudian menggetarkan genderang telingaku. Suara mesin gerinda di belakang rumah begitu jelas, keras terdengar, sibuk sedari pagi memotong besi. Suara gerinda sibuk itu telah terlebih dahulu menguasai gendering telingaku.
Pertanyaan itu hadir begitu saja. Sementara telingaku sedang sibuk dengan alunan music yang tidak akan kau suka. Musik yang aku putar untuk menyamarkan suara gerinda. Menyamarkan kendaraan yang melintas hilir mudik, gonggongan anjing, suaran gerbang biru yang dibuka-tutup oleh penghuninya yang sibuk, sibuk keluar masuk.
“apa yang kau masak hari ini?” itulah pertanyaan yang datang begitu saja.
Seperti seekor kadal yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. Atau seekor anak cicak yang melintas di bawah gelas kopi yang terongok beberapa hari. Entah itu kopi hari apa, aku lupa, yang aku tahu dia telah berubah fungsi menjadi rumah untuk sekoloni jamur.
“aku belum memutuskan” jawabku. “yang jelas hari ini aku tak akan memasak keringatku” lanjutku.
Tidak ada pertanyaan susulan. Hanya gonggongan seekor anjing terdengar sayup-sayup mengejar kendaraan yang melintas. Sayup-sayup diantara suara gerinda dan alunan musik memutar lagu selanjutnya.
Keringatku belum cukup untuk bisa dimasak, walau dia merembes keluar dari pori-pori namun tetap saja masih tidak cukup.
Hujan yang hadir dengan semena-mena membuatnya begitu cepat larut dan luruh bersama lumpur yang bangkit, mengalir menyapa akiku. Mengalir menuju selokan.
“Keringatku belum cukup untuk bisa aku masak hari ini”
“lalu apa yang akan kau masak hari ini?” pertanyaan itu kembali datang, tidak puas dengan jawaban yang kuberikan.
“aku belum memutuskan!” jawabku tegas.
Untuk apa tahu tentang apa yang akan aku masak hari ini. Untuk apa tahu tentang apa yang akan aku makan hari ini. Aku tak ingin memberitahukannya.
Tanah masih basah, hujan lebat semalam hingga pagi tadi masih menyisakan jejaknya. Sementara speaker sedang memutar lagu selanjutnya, lagu yang tidak aku tahu judulnya, namun aku tahu kau tidak akan suka.
Aku memutarnya hanya untuk menyamarkan suara kendaraan yang melintas. Menyamarkan suara perempuan di belakang dinding yang tak pernah lelah memarahi anaknya. Marah akibat si anak tidak segera mandi, atau mengompol, atau susah disuruh makan. Atau ratusan alasan lain untuk marah. Ratusan alasan agar dia bisa marah.
Mungkin saja amarah itu bisa menjaganya tetap waras dan masih bangun pagi dan menyiapkan ratusan keperluan anak-anaknya.
Pertanyaan itu tidak muncul. Namun kini suara perempuan di belakang dinding kian meninggi dan bertubi-tubi. Seperti berondongan senapan mesin yang ditembakkan dengan dendam.
Volume musik aku besarkan, aku tidak ingin mendengar berondongan amarah. Juga tak mau mendengar tembakan pembalasan yang akan kian membabibuta. Berondongan amarah balasan yang akan menyusul kemudian.
Biarkan saja instrument yang tak aku mengerti itu memenuhi telingaku.
Aku duduk dengan segelas kopi yang aku buat siang tadi. Dengan gelas lain yang aku letakkan di sebelah segelas kopi yang telah hadir terlebih darulu. Segelas kopi dengan jamur mengambang di permukaannya. Teronggok begitu saja di salah satu sudut ruang keluarga.
Ruang keluarga yang bahkan telah lama kosong, ditinggalkan. Mereka telah pergi untuk berlari mengejar mimpi-mimpi mereka.
Jamur mengambang dari sisa kopi yang entah telah berapa hari aku abaikan. Aku ingin membiakkannya, siapa tahu itu adalah jamur yang bisa membuat mimpi-mimpi bisa terlupakan. Sehingga tak ada lagi yang perlu berlarian, berkejar-kejaran mengejar mimpi dan pada akhirnya saling meninggalkan. Berakhir untuk saling meninggalkan.
Tentu saja keinginan itu akan kalah oleh kenyataan, aku perlu gelas untuk setiap kopi pahit yang aku butuhkan untuk mengawali hari. Melewati hari di rumah ini. Menikmati waktu bersama ruang keluarga yang kesepian setelah ditinggalkan keluarganya.
Gerbang biru terdengar dibuka, lengkap dengan suara penghuninya yang melengking tinggi.
Aku ingin membesarkan volume musikku, namun hari telah gelap. Akan ada dua teriakan yang silih berganti menghimpitku dari depan dan belakang. Apa yang sebenarnya mereka banyangkan dengan teriakan teriakan yang mereka pekikkan.
“apa kau akan memasak hari ini?” pertanyaan itu kembali. Pertanyaan yang berubah dari sebelumnya.
Aku tidak ingin langsung memutuskan untuk menjawabnya. Bisa jadi pertanyaan itu adalah sebuah perangkap untuk pertanyan-pertanyaan selanjutnya yang tak akan pernah berhenti. Pertanyaan yang akan memancing aku harus mengungkapkan apa yang hendak aku lakukan dan kenapa melakukan itu.
Atau aku tidak menjawabnya karena memang aku tidak ada gambaran apakah aku akan memasak atau tidak hari ini.
Sejujurnya sudah beberapa hari ini aku tidak memasak. Ada persoalan api yang tak mau menyala. Bahkan ketika gas melon telah berhasil aku isi ulang, sebagai sumber energi bagi si api bisa kembali menyala. Belakangan niatku hanya berhasil sebatas membuat air panas.
Hanya air panas untuk kopi. Sama rebusan daging giling untuk anjing yang tak tahu diri. Serta menghangatkan opor dan rendang instant kemasan yang dikirimkan sebagai hadiah hari raya tahun ini.
Itu tentu tidak masuk dalam kategori memasak.
Sebatang rokok lembab aku ambil dari dalam bungkus rokok yang berserak di lantai. Bungkus rokok yang berjuang keras untuk tetap menjaga sebatang rokok tetap kering. Usahanya berhasil secara citra. Paling tidak rokok itu masih putih mulus tanpa bercak kecoklatan yang akan membuat muak untuk membakarnya.
Namun belum lagi aku menghembuskan asap hisapan pertama dari sebatang rokok yang berhasil diselamatkan oleh sebungkus kertas rokok, pertanyan datang kembali “jadi apa kau akan memasak hari ini?” Kembali hadir begitu saja, seenaknya.
Pertanyaan yang membuatku tersedak.
Sebuah rice cooker buluk teronggok menganga di hadapan kulkas penuh stiker. Aku melihatnya dengan seksama. Melihatnya sambil bersandar pada dinding yang tak mampu meredam lengkingan suara perempuan yang datang dari belakang rumah. Menatapnya, hanya menatapnya.
Apakah rice cooker itu yang sedang melempar pertanyaan padaku?
Jika dia yang melemparkannya, dia seharusnya sudah tahu jawabannya.
Bukankah itu kebiasaan hari ini, melempar pertanyan yang jawabannya sudah diketahui dan sudah berada dalam genggaman. Bertanya bukan untuk mencari tahu, namun untuk memamerkan apa yang diketahui.
‘Ahh, tidak mungkin rice cooker akan melakukan itu’ pikirku diantara asap yang mengepul dari sebatang rokok kretek lembab. Asap hembusan kedua yang jauh lebih nikmat dari hembusan pertama yang kacau oleh pertanyaan.
Aku masih belum beranjak, menikmati sebatang rokok lembab yang berhasil aku temukan di antara serakan bukus rokok kertas favoritku. Duduk bersandar sambil menyeruput kopi dari sebuah gelas yang belum direbut oleh jamur. Belum direbut dan dikuasai oleh kemalasan dan pengabaian.
Aku belum beranjak, masih memandang ke setiap sudut ruang. Serakan pakaian, beberapa selebaran, kursi, dan benda-benda yang sejujurnya aku tidak paham untuk apa harus disimpan.
‘ini ruang keluarga dimana seharusnya gelak tawa dan cengkrama terjadi. Namun alih-alih menyebutnya sebagai ruang keluarga, ruang ini tak lebih dari ruang kesepian. Jadi biarkan saja barang-barang itu hadir, menguasai, meramaikan. Meramaikan kesepian ruang keluarga yang telah ditinggalkan oleh keluarga yang menghadirkan ruang ini, sebagai ruang keluarga’ pikir ku.
Setengah gelas telah habis, setengah batang dari sebatang kretek lembab itu juga telah jadi abu.
‘baiklah aku akan memasak hari ini’ kataku dalam diri, sebelum beranjak dari posisiku. Berdiri dan melangkah dengan setengah batang rokok lembab dan setengah gelas kopi.
Berjalan menuju dapur.
“apa yang hendak kau masak hari ini?” pertanyaan datang lagi. Sebuah pertanyaan bawel yang begitu amat teguh mengejar keingin tahuannya.
“biarkan aku sampai dapur dahulu” kataku. “Setelah itu akan aku putuskan” lanjutku menjawabnya.
Mengambil ulekan yang tertelungkup di sebelah korakan, bercak jamur begitu jelas terlihat. Bercak jamur yang tumbuh akibat pengabaian yang berlangsung. Jamur yang terpaksa harus disingkirkan lewat kucuran air yang menetes perlahan.
Ulekan ditengadahkan.
Sebuah wajan yang telah mengering di rak perabotan masih menyisakan jejak kerak pada pantatnya. Sudahlah, itu riwayat, siapa yang bisa menghapusnya?
Yang bisa aku lakukan hanyalah menerimanya. Menerima setiap jejek kerak yang masih melekat, menerimanya sebagai riwayat kisah, riwayat perjalanan.
Aku menghitung amarahku, menghitung dengan seksama. Ya, aku menghitungnya dengan seksama. Bahkan ketika amarah itu telah keriput dan mengering dalam dingin ruang penyimpanan bawah sadar.
Yang begitu dingin. Begitu dingin mengeringkan.
Aku menghitungnya dengan seksama, mesatikan dalam bilangan ganjil. Mengikuti nasehat seorang ibu warung yang berkata, “pedasnya cabai itu nikmat jika berjumlah ganjil”
Bukankah amarah juga seperti itu? Dihitung dengan seksama dalam hitungan ganjil, dengan keganjilannya.
Aku melempar amarah itu dalam ulekan.
Kemudian menambahkan secumput kecil asin, hanya sejumput kecil duka, sejumput kecil saja, akan pengalaman duka yang dialami.
Aku harus hati-hati pada asin, asin akan melahirkan potensi emosional dan tentu saja kekentalan darah. Aku juga takut rasa asin pengalaman yang berlebih membuat rasanya tidak lagi sesuai dengan keadaan yang terjadi. Membuatnya menjadi pahit.
Berelebih akan menghadirkan selain emosiaonal akibat kekentalan darah juga kebas di lidah, yang akan membuat kepekaan akan rasa menjadi sirna.
Serangkaian perjalanan waktu dan proses saling belajar, yang seharusnya menjadi ruang tumbuh bersama untuk saling jujur telah diinjak-injak, menjadi bangkai. Diinjak-injak dengan dendam dan pembalasan, lalu kemudian dikemas sedemikian rupa dalam bentuk pembenaran diri.
Aku ingin menghadirkannya, dan harus menghadirkannya.
Secuil terasi, rasa sederhana. Butuh sedikit saja, untuk mengingatkan akan bagaimana rentang proses dan perjalan itu diabaikan dan dirubah begitu saja untuk kemudian dihadirkan dalam bentuk baru (pembenaran). Terasi adalah rasa yang hadir dari serangkaian pengorbanan dalam serangkaian rentang proses perjalanan.
Sebuah limau aku iris. Untuk memastikan, luka itu adalah perih yang harus diingat dan dirasakan.
Dalam ulekan mereka terbaring dan siap untuk dikoyak-koyak.
Ulekan melakukan tugasnya, mengoyak semua yang terbaring dalam kuasanya, mencampurnya, menghaluskannya.
Menjadikan hitungan amarah, asin pengalaman, pengingkaran pengorbanan dan perihnya luka menjadi sebuah kesatuan.
“jadi apa yang kau masak hari ini?!” pertanyaan itu masih bertanya.
Api telah aku nyalakan. Wajan dengan kerak di pantat yang tak bisa aku hapus telah aku letakkan di atas nyala api. Sedikit minyak aku tuang dalam wajan.
Pada tunggku satunya, aku coba menyalakan api yang lain. Kletek…mati, kletek…mati, kletek… mati…
Kletek, akhirnya menyala. Sebuah panci dengan air aku letakkan di sana.
Minyak telah mendidih. Potongan kenyataan harus aku iris dan aku lempar dalam wajan.
Potonngan kenyataan. Potongan penuh lemak dan daging tanpa tulang.
Aku mengirisnya, mengirisnya sendiri untuk aku lempar kedalam wajan dengan minyak yang memanas.
Aku memilih irisan kenyataanku, satu irisan aku pikir cukup untuk kebutuhanku hari ini.
Jadi aku lempar dalam wajan dengan minyak panas itu, membiarkan irisan daging kenyataan mulai gemericik mengeluarkan minyak dan airnya.
Aku menunggu, sambil coba untuk mengumpulkan apa yang telah aku ulek.
Sial air dalam wajan di tungku sebelah telah mendidih, sementara irisan daging masih menunggu waktu.
Aku melempar harapan dalam air mendidih.
Melemparnya dalam air mendidih, sambil coba berusaha memastika harapan masih tetap segar.
Irisan kenyataan, yang terabaikan telah matang, airnya telah menguap. Sementara minyaknya keluar sedemikan rupa.
Itu adalah daging tubuhku.
Ketika aku tak bisa memasak keringatku, lalu apa yang bisa aku masak?
“jadi sebenarnya, apa yang kau masak hari ini?” pertanyaan itu muncul lagi.
Aku diam. ‘aku sudah coba kembali masak, dan kau masih saja tetap bertanya’ pikirku.
Memasak bukan urusan untuk menjawab pertanyaan, memasak soal keinginan untuk memasak, keinginan untuk melakukaknya.
“Jadi, apa yang kau masak hari ini?” kembali pertanyaan itu muncul.
“bangsat, aku memasak kesepianku” kataku menjawab.
“hari ini aku memasak kesepianku” jawabku. “memasak kesepianku!” lanjutku tegas.
“Kesepian yang seharusnya aku rasakan 7 tahun lalu, namun pada kenyataannya aku ingkari lewat serangkain pelarian penuh omong kosong. Dan dia kembali hari ini” aku memutuskan menjelasakan.
“Serangkaian pengingkaran yang kemudian harus membuatku kembali ke titik nol. Kesepian dan kesendirian 7 tahun lalu yang harus aku maknai, namun aku berpaling dan memilih untuk berlari, enggan menghadapinya” lanjutku.
Dan hari ini pada kenyatannya aku sedang memasaknya.
“aku sedang masak kesepian dan seksendiarianku” jawabku. “apa kau puas dengan jawabanku?” lanjutku.
“Apa kau puas dengan jawabanku?” aku bertanya balik.
“Apa kau puas dengan jawabanku??” teriakku, bertanya menghardik.
Hening, takda jawaban yang hadir.
Dari depan, teriakan perempuan kencang menghardik bocah, anaknya. Di belakang, perdebatan dengan nada tinggi, kian tinggi menggema.
Suara gerinda masinh nyaring, menderit. Gonggongan anjing jika keras menyalak. Volume perlu music perlu ku naikkan, untuk menghadapi himpitan suara yang kian cepat dan meninggi.
Dan menikmati masakan yang berhasil ku masak, masakan yang tak akan enak untukmu. Karena ini masakanku, yang akan ku santap, ku nikmati untuk menghidupi dan menumbuhkanku.
Irisan luka, dalam bumbu duka, tersajikan dalam baluran saos sepi. Ada bercak hijau harapan, aksen tipis. Dan tentu saja bawang goreng omong kosong.
Itu yang berhasil aku masak, aku hadirkan.
Kenyataan berhasil hidup, hadir untuk aku santap hari ini.
“lihat, lihatlah masakanku. Kau meu mencicipinya?”
Tak ada suara yang muncul.
Si Penanya yang hadir dengan pertanyaan, “masak apa hari ini?” hilang. Hilang ditelan riuh kenyataan.
l.taji
13.01.25
1
Sudah 7 hari aku berada di rumah ini, menyaksikan bagaimana perhatian ibuku yang tak bisa aku abaikan, perhatian yang harus dipendamnya selama berminggu-minggu dan ketika perhatian tersebut tidak bisa lagi ditahannya, maka dia akan mengambil gagang telpon rumah, lalu sebuah panggilan akan mencuri perhatianku, suaranya yang terdengar ragu akan bertanya bagaimana kabarku, apa yang aku makan, apa aku punya uang, apa aku rajin sholat dan mengingatan ku untuk tidak meninggalkan sholat, dan sebuah pertanyaan terakhir yang selalu sulit aku jawab. Pertanyaan yang artinya aku harus merubah jadwal kegiatanku, sebuah kalimat yang menanyakan kapan aku akan pulang.
Butuh beberapa saat bagiku sebelum akhirnya menjawab, mencoba mengalihkannya dengan pertanyaan akan topik lain, tapi tidak berhasil, selalu saja akan kembali pada pertanyaan itu.
14 hari yang lalu adalah telpon terakhirnya, yang membuatku kini berada di rumah ini, 7 hari bukan waktu yang singkat, terutama ketika berada dalam kenyataan hidup begitu yang nikmat dan aman, kenyataan yang begitu menggiurkan.
Aku benar-benar diambang batas, aku sudah mulai memasuki fase-fase awal menjadi babi, makan, tidur, sesekali pergi mengantar ke pasar, menyapa lalu berbincang dengan kawan masa kanak-kanak yang kini telah sibuk dengan rutinitasnya, bangun pagi, bekerja, lalu pulang menjelang gelap dengan kelelahan, layaknya semut pejantan yang telah kehabisan energi melayani birahi sang ratu, pemilik modal.
“kamu kerja dimana?” atau ”kamu kerja apa?” menjadi pertanyaan yang selalu saja dilemparkan sahabat masa kecilku, ,saat aku jawab hanya menganggur maka mereka akan dengan murah hati menawarkan lowongan kerja di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja, menyampaikan besar gaji yang akan didapat perbulan, pekerjaan yang sejak awal selalu saja aku hindari.
“Iya, nanti aku buat CV dulu” jawabku menghindar, hal yang tidak benar-benar akan ku lakukan, jawaban untuk menghindarkan kesan sombong atau kesan pemalas yang mungkin saja timbul di benak mereka.
“Sarapan dulu?” ibuku berkata sambil menata piring di meja makan.
“Iya” jawabku sambil melanjutkan langkahnya ke dapur, lalu mencuci gelasnya.
“Biarin aja dulu, nanti biar Ibu yang nyuci sekalian”
“Iya” jawabku pelan, karena gelas tehku telah bersih dan diletakkan diatas rak perabotan.
“Ada kabar apa hari ini?” tanyaku sambil melangkah menuju meja makan. Aku lebih baik mendengar cerita tetang berita koran harian darinya daripada membaca secara langsung. Alasannya sederhana, pertama aku tidak benar-benar tertarik dengan keriuhan yang terjadi, keriuhan yang mulai mirip kecerewetan perawan tua. Kedua, ketika dia menceritakan berita yang telah dibacanya, tanpa disadari ceritanya akan menyajikan pandangannya terhadap peristiwa yangdiceritakannya. Hal yang ketiga, karena aku seperti kembali ke masa kanak-kanak ketika dia selalu punya waktu untuk menceritakan dongeng sebelum aku tidur.
“Tidak ada yang berarti, hanya tentang penistaan agama yang masih menjadi topik hangat serta pemilu Jakarta”
“Ohhh” aku menjawab pendek.
“Sudah makan dulu” ibuku menyela. Tak ingin wujud cinta kasihnya diabaikan oleh hal-hal yang tidak penting seperti politik.
Bagi ibuku ada dua hal yang penting, pertama tentu saja bagaimana urusan para lelakinya, dua laki-laki yang selalu dia khawatirkan, dan yang kedua keimanan.
“Aku mau balik ke Purwakarta hari ini” kataku ditengah suapan nasi goreng favoritku.
“Hari ini?” ibu bertanya.
Aku melirik ibuku yang duduk dihadapanku, melihat matanya mulai memancarka rasa sedih yang coba disembunyikannya. “Iya” jawabku.
“Kamu ada kerjaan?” bapakku bertanya sekaligus memberikan sebuah sinyal, alasan agar ibuku bisa menerima dan rela aku meninggalkan rumah.
“Iya, harus diselesaikan segera” kataku. Maaf Bu, aku harus berbohong,tidak ada kerjaan yang sedemikian gawat dan pentingnya, lagi pula memang aku sedang tidak ada kerjaan. Tetapi diam dirumah tanpa pekerjaan semakin membuat aku terlihat bodoh dan gagal.
“Tidak bisa ditundakah atau kamu kerjakan dirumah saja?”
“Tidak bisa Bu” aku tidak bisa memberikan penjelasan yang panjang, karena semakin panjang penjelasan yang kuberikan maka semakin banyak juga kebohongan yang harus aku karang, dan itu akan semakin menyiksaku.
Ibuku menyendokkan nasigoreng kedalam mulutnya, aku lihat keriput semakin jelas, tak lagi bisa disembunyikannya.
“Udah biarin aja, lagi pula dia pergi untuk kerja” kata Bapakku menyakinkan Ibuku.
Pada satu titik aku dan Bapakku akan saling bahu-membahu membebaskan diri dari rantai sayang dan kekhawatiran ibuku.
“Kenapa kamu tidak pindah dan tinggal di kota ini?” pertanyaan selalu saja datang setiap kali aku pulang.
“Tidak Bu, susah mencari kerja di sini?”
“Mana mungkin, kota ini lebih besar dari kota tempatmu menetap”
Aku diam, memasukkan nasi kedalam mulutku, aku sadar ibuku sedang menatapku, mengawasi dan menunggu jawabanku.
Aku terus mengunyah nasi itu, memastikan mulutku sibuk dan tidak punya kesempatan untuk menjawab pertanyaannya.
“Biarkan dia mencari pengalaman” kata bapakku.
“Aku kira dia suduh cukup lama tinggal jauh dari kita, tidakkah kau ingin dia pulang dan kembali menetap di rumah?” kini ibuku sedang menyerang lelaki satu lagi didalam rumah.
Meja makan ini selalu menjadi medan laga, seorang wanita melawan dua orang laki-laki, jumblah tidak akan memastikan kemenangan, apalagi jenis kelamin, sesekali kali kami kaum lelaki menang setelah melakukan perlawanan sengit, kemenangan yang harus kami bayar dengan permintaan maaf keesokan harinya, karena mengalahkannya sama artinya kami sedang menikam hati kami sendiri dengan sebilah pisau.
“Tentu aku ingin, tetapi dia laki-laki,laki-laki harus merantau dahulu sampai akhirnya dia siap” bapakku masih berjuang.
“Kita sudah tua, bagaimana jika terjadi sesuati pada kita?” ibuku menggunakan lagi senjata pebelaan dirinya...“Seperti ketika hipertensimu kumat, aku harus panik sendiri” lanjut ibuku.
Kini bapakku diam, dia tidak bisa mengelak, sebuah pukulan telak dihantamkan tepat dibawah rahangnya.
“Iya Bu, kalian akan baik-baik saja kok” perbincangan ini harus dihentikan. “Aku mau menyelesaikan kerjaan sebentar, setelah semua selesai aku pasti pulang”
“Iya kapan?” kini aku dikejar untuk menentukan deadline.
“Semoga tidak akan lama lagi” kataku.
“Bagaimana hasil pemeriksaan kesehatan ibu hasilnya bagus kan?” aku melarikan diri.
“Bagus, semua baik, hanya kolesterol aja sedikit naik, tapi kata dokter sih hasilnya bagus”
“Syukurlah, bagaimana dengan punya Bapak”
Harus ada yang dikorbankan untuk mengalihkan perhatian ibuku.
“Kasih tahu bapakmu untuk berhenti ngopi dan merokok sembunyi-sembunyi, dia kira ibu tidak tahu kalau dia masih suka sesekali merokok ketia berkumpul dengan bapak-bapak”
“Itu jarang, hanya sesekali waktu”
“Tapi tensimu kemarin naik, kamu tidak dengar dokter berkata apa…Kamu harus berhenti ngopi dan merokok”
“Sebaiknya bapak menuruti nasihat dokter”, kataku.
“Iya” bapakku menjawab pendek tanpa perlawanan. Dia tahu sebenarnya aku lebih menyarankan untuk semakin rapi mencuri dari ibu.
“Bagaimana kabar Mawar?”
“Baik” kataku menjawab pertanyaan ibuku.
“Sudah lama dia tidak pernah datang kemari, apa hubungan kalian baik-baik saja?”
“Kami baik-baik saja, dia sedikit sibuk dengan pekerjaan barunya”
“Ohhh……Ibu kangen ngobrol dengannya”
Bapakku mendorong piringnya kedepan, mengambil koran dan tersenyum padaku.
“Ibumu pingin mantu” bapakku mengalihkan senyumannya, menggoda ibuku.
“Dia perempuan yang baik, sopan, cantik, pintar, apa lagi yang kau tunggu?” ibuku memuji pacarku. “Dia juga mandiri, kamu juga sudah cukup umur untuk menikah atau kamu mau menunggu dia dibawa lari orang?”
“Tentu tidak ” aku tidak menyadari jawabanku.
“Ya sudah kalau begitu, mulailah berbicara serius padanya”
“Dia masih meniti karirnya,Bu. Aku tidak bisa menghancurkanmasa depannya” kataku, menyembuyikan ketidaksiapanku akan kehidupan yang stagnan.
“Pernikahan tidak akan menghancurkan masa depan, itu pendapat bodoh. Ketika sebuah hubungan sudah disahkan agama semua akan lebih mudah. Bukan begitu, Pak?”
“Iya, benar kata ibumu. Jangan menunda jika kau tidak mau pacarmu diambil lelaki lain”
Orang tuaku selalu sepaham, mereka berdua seolah butuh mainan baru. Rumah ini sepertinya butuh keceriaan anak-anak dan cucu menjadi keinginan mereka berdua.
“Iya” jawabku pendek sebelum menegak segelas air putih.
“Kamu tidak ingin bertemu dengannya sebelum kembali ke kotamu?”Ibuku selalu menyebut kota tempat tinggalku dengan kata kotaku, seolah ingin menekankan jarak yang memisahkan kediaman kami, menegaskan ketidaksukaannya pada jarak yang membentang tersebut.
“Kapan kamu terakhir bertemu dengannya?” ibuku bertanya.
“Dua hari yang lalu aku menjemputnya” jawabku.
“Kenapa kamu tidak mengajaknya mampir kemari?”tanya ibuku.
“Kami hanya makan dan dia terlihat sangat capek. Jadi aku mengantarnya pulang.”
“Kamu sempat bicara dengan orang tuanya?”tanya ibuku kembali.
“Iya, kami sempat berbincang”
“Mereka menyetujui hubungan kalian?”
“Entahlah, yang jelas mereka tidak pernah pernah keluhan”
“Kau harus sopan dan menarik perhatiannya orang tua pacarmu, sepertinya dia dari keluarga baik-baik” ibuku menyarankan sambil melangkah menuju dapur.
“Iya” kataku, mendorong kursiku kebelakang dan berdiri. “Aku mau siap-siap” kataku memberi tahu orang tuaku.
Ibuku melangkah tanpa memberika jawaban, bapakku masih khusyuk dengan korannya. Aku melangkah meninggalkan meja makan dan menuju kamar.
2
“Pakai ya?” katanya padaku ketika menyerahkan sebuah bungkusan.
“Apa ini?” aku ingin dia memberitahuku apa yang diberikannya padaku.
Itu adalah pertemuan terakhir kami sebelum aku memutuskan pergi, setelah satu minggu aku menjadi babi dalam kandang kerinduan… kerinduan akan kota yang menyimpan dua perempuan yang tidak bisa ku abaikan.
“Aku tak bisa menjagamu setiap saat, aku juga tidak bisa tahu keadaanmu setiap detik” dia mengatakannya di sebuah sore, dihadapan dua gelas lemon tea yang kami pesan sore itu. “Jadi paling tidak dengan ini aku mau kau baik-baik saja”.
Aku menerima bungkusan itu tanpa ingin membukanya. Mata dibalik kaca yang bersinggasana diatas hidungnya lebih menarik dari bingkisan dalam kantung kertas ditanganku.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” katanya setelah ucapan terimakasihku keluar.
“Aku ingin merekammu, rekaman yang akan kuputar ketika aku melakoni perjalananku”
“Jangan jadi picisan” katanya.Dia seolah telah hafal pada setiap jurus rayuan laki-laki.
Kami akhirnya tertawa. Kalimat itu seolah menjadi tali yang akan menarik kami kembali pada kenyataan hubungan tak melulu seindah lukisan Moi Indie yang indah dan romantis.
“Jangan berusaha untuk merayuku karena itu tidak akan berguna” katanya disela-sela tawanya.
“Iya aku tahu, aku tahu kau terlalu cerdas untuk jatuh dalam rayuanku”
“Hahahaha…kau harus berusaha lebih keras”
“Apa yang akan kau kerjakan disana?” katanya bertanya padaku.
“Apa saja, asal aku bisa jauh darimu” sebuah pengakuan dosa keluar dari bibirku, pengakuan betapa lemahnya aku didekatnya.
“Jangan begitu, kau bisa melakukan banyak hal disini” katanya.
“Iya, mungkin. Tapi yang pasti terjadi aku akan merecoki aktivitasmu dan aku tidak ingin melakukan itu” jawabku.
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” katanya, sebelum bibir tipisnya menyentuh tepian gelas, lalu meletakkannya.
“Setidaknya jika kamu disini aku jadi tidak harus naik motor sendiri” lanjutnya.
“Baiklah, jadi aku menjadi tukang ojekmu?”
“Hahahaha, aku hanya bercanda” katanya menggoda.
“Aku butuh waras…itu lebih tepatnya.” Kataku.
“Iya, aku tahu. Jangan khawatir” jawabnya.
Kabut turun membuat cahaya butuh usaha lebih keras untuk bisa tetap menerobos masuk. Burung-burung telah kembali kesarangnya, membawa sedikit makanan yang bisa didapat diantara kulit cemaraatau diantara tumpukan humus yang lembab..
Guguran daun yang telah menguning diatas tanah, menyembunyikan cacing yang menggeliat, diantara daun yang tidak mampu melawan waktu yang ingin segera membuatnya busuk, diantara ketakutan akan burung yang mengintai dengan perut lapar.
Apa yang harus aku lakukan untuk tidak memikirkannya, menjaga jarak bukan pilihan yang baik untuk bisa mengalihkan diri darinya, jarak tidak menghapus ingatan, jarak memupuk kerinduan.
Aku merindu, bahkan dijaman ketika aku bisa menatap wajahnya kapanpun aku mau, dimasa ketika aku bisa tahu setiap hal yang dikerjakannya.
Jika hari ini kamu ada disini, maka kau akan merasakan betapa dinginnya tanganku, betapa dinginnya butiran air yang perlahan turun menyentuh kulitku dan ketika kau tahu hari ini aku disini kau akan menyalahkanku karena tidak mengajakmu.
“Sampai kapan kau akan lari dariku?” pertanyaan yang dilontarkannya setelah diam untuk beberapa saat.
“Entah lah…mungkin sampai aku bisa menguasai diriku”
“Ibu tidak melarangmu pergi?”
“Dia selalu akan melarangku, tapi itu salah satu alasan aku harus pergi. Kau tahu aku merasa kenyamanan kota ini membuatku terlena” kataku sambil mengambil gelas yang menyisakan setengah isinya.
“Kota ini tidak mengakomodasi keliaranmu?”
“Tidak seperti itu juga, keliaran bisa dilakukan dimana saja Hanya saja ketika ada dikota ini, dengan kau dan ibu didalamnya, aku akan lebih memilih menghabiskan waktu berasa kalian daripada menjadi liar”
“Dan kau tidak mau itu terjadi?”
“Aku belum mau itu terjadi, itu lebih tepatnya”
“Aku tidak akan memaksamu. Tapi ada hal-hal liar yang bisa kita lakukan bersama di kota ini” sebuah godaan muncul dari bibirnya.
“Kau menggodaku?”
“Tidak, jangan berpikir macam-macam”
“Bagaimana kau melarangku berpikir macam-macam tepat disaat kau menawarkan sebuah keliaran bersama?”
“Harusnya kau tahu keliaran yang aku maksud” katanya dengan wajah memerah, mencoba memnyembunyikan rasa malu ketika mengetahui aku menerjemahkan keliaran yang dimaksudnya dengan naluri laki-lakiku.
“Hahaha, lihatlah wajahmu” godaku.
“Sudah diam” rajuknya.
“Aku hanya ingin menemukan diriku terlebih dahulu sebelum memutuskan kembali ke Kota ini dan menetap diantara kalian”
“Jangan berkata seolah aku dan ibu adalah dua orang yang bertolak belakang dan memperebutkan mu”
“Aku tidak berkata demikian”
“Pernyataan kalau kau ingin ada diantara kami yang menunjukkan itu”
“Itu karena kalian adalah dua wanita yang akan menjadi alasan jika aku harus kembbali dan menetap di kota ini” sial …akhirnya bentengku runtuh.
“Aku tersanjung, apa ini adalah rayuan?” katanya bertanya.
“Anggap saja aku keceplosan”
“Aku masih akan di sini, bukan untuk menunggumu jadi kamu jangan besar kepala dulu” jelasnya.
“Iya aku tahu” aku menegak tegukan terakhir dari gelas dihadapanku.
Dia tidak pernah ingin menjadi merah apalagi memunculkan kelembutan melankolis merah muda. Dia konsisten untuk menjaga dirinya tetap hitam, kemurungan, dingin, misterius, keras dan ketika kau mengenalnya kehangatan akan muncul dibalik gesturnya.
3 buah cemara lalu diletakkan diatas dedaunan yang telah kecoklatan, tepat diatara kedua kakinya. Sebbuah handphone dikeluarkan dari sakunya, sebuah foto yang hanya menampilkan kaki yang tertutup kaos kaki merah dan sepatu hitam yang ingin dia tunjukkan…… tidak ingin menunjukkan wajah kerinduannya pada Mawar.
Pemuda itu duduk, jarinya membuka sebuah aplikai media sosial, sebuah foto yang baru diambilnya, foto yang menampilkan kaos kaki pemberian kekasihnya. Sebuah caption di tulis,“Wild..Wild ...black n red. :D.Thnkz red socks @mawar” dan diakhiri dengan menekan instruksi share.
l.taji
/12/2/2017
“Ndak usah berangkat,” suara itu masih terngiang di kepalaku. Suara perempuan yang baru dua bulan lalu melahirkan anakku. Harusnya aku mendengarkan sarannya dan mengurungkan diri berangkat, dan mungkin aku sedang menikmati malam sambil melihat wajah anakku.
“Ayo menyala,” tanganku menarik tuas mesin dan sialnya tak ada sedikitpun bunyi dari mesin yang telah kuyup oleh air. Sama sekali tidak ada, hanya bunyi tali seling tertari yang samar oleh angin dan riak laut.
Semua gelap dan hanya ada air, hujan lebat menyisakan gerimis halus dan rapat, membatasi jarak pandangku dan memang tidak ada satu sumber cahaya yang tampak, entah dari daratan yang entah di mana atau dari sampan lain yang kebetulan nekad juga untuk pergi melaut. Sayangnya tidak ada satu cayahapun, satu-satunnya cahaya malam itu hanya dari sampanku, sementara di sekitarku semua gelap.
Aku kembali mencoba menyalakan dua mesin yang membawaku ke tengah, menarik tuasnya, mengutak-atik cock, memukulnya, dan tetap saja tidak ada bunyi tanda mesin itu bisa bekerja mengantarku pulang. Mereka berdua mengkhianatiku, mengantarku ke tengah laut dan pergi meninggalkanku di sana. Mesin-mesin yang begitu aku percayai dan aku rawat dengan begiu teganya tiba-tiba mati dan tidak mau bekerja sama mengantarku pulang.
Aku hanya bisa duduk, menyandarkan tubuh pada tiang, membiarkan gelombang kecil yang tersisa mengombang-ambing sampan. Apa yang bisa aku lakukan, mesin-mesin telah mati, tak ada cahaya yang bisa aku tuju dan daratan entah di mana. Apalagi yang bisa aku lakukan selain duduk, mendapati keadaan yang tak berpihak padaku, mendapati seluruh tubuhku basah oleh hujan dan percikan air laut dari gelombang tinggi yang menghantam sampanku sebelumya. Mendapati gerimis yang jatuh ke dalam sampan, menyaksikan gerimis terserap serat pakaian yang aku kenakan, membuatnya lebih berat dan lebih dingin.
Menatap kotak ikan, tanpa sadar aku mukulnya, marah gara-gara kotak ini aku harus melaut jauh sampai ke tengah. Ya, gara-gara kotak putih tempatku menampung ikan yang bisa aku tangkap. Kotak sialan yang terus dan terus meminta untuk dipenuhi.
“Kotak sialan,” aku ingat ketika kemudian aku melemparkan kotak dan ikan yang berhasil aku tangkap.
Aku melemparnya ke lautan, “Sana cari sendiri, cari sendiri ikan-ikanmu, kotak sialan.” Aku menaahkannya, keasyikan memenuhi kotak itu membuatku lupa, harusnya aku pulang sampai jam 10 seperti janjiku, dan kini entah sudah jam berapa, aku tidak tahu, HP ku mati, semua seolah sepakat mengkhianatiku. Meninggalkanku di sini sendirian hanya berbekal sebuah bohlam dan mesin disel yang berbunyi dan enggan megikuti irama laut.
Lalu apa yang terjadi. Asyik memenuhi kotak putih itu dengan ikan, aku lupa waktu, lupa diri, dan terus menarik ikan-ikan itu, melemparnya ke dalam kotak putih sialan itu. Jangankan mengambil HP dan melihat jam, aku bahkan tidak sadar ketika matahari turun tenggelam dan senja terlewat begitu saja. Terlalu sayang untuk melewatkan ikan-ikan yang hari ini begitu mudah aku tarik dengan kail. Hal yang jarang terjadi pada bulan-bulan dengan cuaca buruk seperti sekarang ini. Jadi, ketika kesempatan itu dating, aku ingin memanfaatkannya dengan memenuhi kotak putih dan membawa pulang ikan sebanyak mungkin. Siapa yang peduli pada senja apalagi jam yang berdenyut ketika itu.
Sialnya, keasyikan itu terus berlangsung hingga tiba-tiba hujan turun, lebat. Tiba-tiba, karena aku tidak melihat mendung sebelumnya, atau mungkin aku mengabaikannya akibat terlalu fokus pada kail, ikan, dan kotak putih dalam sampan. Hujan yang datang bersama petir dan gemuruh, lebat hingga untuk sekedar membuka mata butuh perjuangan.
Angin kencang menyusul, mengubah arah hujan yang jatuh, meninggikan gelombang yang mengombang-ambing sampan kecil yang kukendarai. Aku melepas kail, memilih memegang kemudi, menyalakan mesin dan mulai mengatur arah putaran. Bertahan dengan mengikuti arah gelombang, menjaga agar tetap terombang-ambing. Hujan lebat, gemuruh langit bersama petir, angin, dan gelombang, apa yang lebih mengancam sampan kecil di tengah laut daripada ketika itu semua datang bersamaan.
“Duar,” sura yang terdengar memekikkan telinga, disusul kilatan yang begitu jelas di dekat sampan. Saat seperti itu bagaimana memikirkan kail dan ikan?
Aku hanya mengarahkan kemudi, menggerakkan ke kanan atau ke kiri, menurunkan gas, berusaha lari dengan menerobos gelombang tinggi hanya akan membuat sampanku terbalik. Bergerak hanya untuk mengikuti ritme gelombang, sementara angin entah menggiring sampan ini ke mana. Aku tidak peduli, aku hanya ingin bertahan tidak terbalik dan tenggelam.
Berharap seseorang akan membantumu? Itu kesalahan terbesar. Kami nelayan kecil terbiasa melaut dengan sampan masing-masing, bertahan dengan sampan masing-masing, berjuang dengan sampan masing-masing, dan menghadapi situasi seperti ini pula dengan sampan masing-masing. Dan sialnya, ketika itu aku menghadapinya sendirian, tidak ada sampan lain yang mengalami hal yang sama. Hanya ada aku, sampan, laut, dan cuaca yang memerangkapku.
Tidak ada buku panduan untuk keluar dari cuaca buruk. Tidak ada pelatihan untuk keluar dari gelombang tinggi, hujan lebat berpetir, dan angin kencang yang pernah dajarkan padaku. Yang diajarkan hanya bagaimana bisa menangkap ikan dan memenuhi kotak putih yang menjadi wadah ikan-ikan untuk dibawa ke pengepul.
Lalu bagaimana aku harus keluar dari perangkap itu? Aku pun tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu hanya mengendalikan mesin sambil merapal, “Jangan terbalik.... Jangan terbalik.” Sementara gelombang terus mengangkat sampanku dan hujan terus jatuh mengantarkan petir yang menjilat permukaan laut.
Wajah anakku muncul diikuti ketakutan pertanyaan-pertanyaan yang mengikuti. Bagaimana jika petir itu menyambarku? Bagaimana jika sampan ini kebalik? Bagaimana jika arus membawaku terus ke tengah? Tidak ada pertanyaan yang mendukung, mereka menggerogoti keyakinanku.
Rambutku telah kuyup, pakaian sudah menempel lekat dengan kulit, sesekali gelombang air laut menamparku, air masuk ke dalam sampan. Sambil memegang tuas kendali, aku coba mengeluarkan air agar tidak semakin banyak menggenang. Sumpah, aku menyesal memilih untuk melaut. Apa gunanya ikan-ikan ini jika akhirnya aku hanyut dan tak bisa pulang, pikirku ketika itu.
Hari semakin gelap. Tanda-tanda cuaca akan membaik belum juga muncul ketika tiba-tiba mesinku mati. Hujan dan deburan gelombang sepertinya telah masuk. Cetok yang aku gunakan untuk mengeluarkan air yang masuk aku sampan aku taruh, aku berusaha menghidupkan mesin. “Bagaimana aku pulang jika mesin ini mati?” tanyaku. Semua menjadi lebih buruk. Aku berusaha menarik tuas untuk menyalakannya kembali. Sialnya, mesin itu tak menyala. Aku yakin bensin dalam tangki masih penuh, tapi aku buka, siapa tahu ternyata bensin yang habis yang membuat mesin mati, sehingga lebih mudah untuk menyalakannya kembali karena aku masih menyimpan bensin cadangan. Sialnya, mesin dalam tangki masih banyak, tetapi mesin tak juga kunjung menyala. Lengkap, aku tidak bisa pulang sekarang. Aku tak bisa selamat tak ada lautan tak ada cahaya.
Mesin, satu-satunya hal yang bisa aku pegang dan andalkan untuk menjagaku melalui situasi ini dan mengantarku pulang juga mati akibat cuaca ekstream itu,lalu apa lagi yang bisa aku harapkan? Ketika mencoba berkali-kali, dan mesin itu juga tak kunjung menyala, aku menyerah. Melemparkan badanku di pojokan sampan dann membiarkan apapun yang terjadi. Membiarkan gelombang itu menghantam sampan, melemparkannya membiarkan angin yang bertiup mengombang-ambing ku, membiarkan hujan dan petir itu sesukanya.
Aku memutuskan untuk menerimanya sambil mengingat wajah anak dan istriku. Membayangkan wajah mungil putra pertamaku sambil berkata, “Maaf, Nak, bapak tak bisa menyaksikanmu tumbuh besar.”
Aku sudah berpikir akan mati malam itu, menjadi sesaji yang dipilih samudra karena aku terlalu rakus mengambil ikan mereka selama bertahun-tahun. Air mata menetes di antara hujan yang mengalir, bercampur, ketika bayangan wajah mereka terus dan semakin jelas muncul di kepalaku.
“Maaf, Nak, bapak tidak tahu apa akan bisa pulang atau tidak malam ini,” kataku dalam hati saat itu. “Pak, Ibu, titip cucumu,” lanjutku. Aku tidak tahu harus melakukan apa.
Aku tidak tahu sedang berada di mana sekarang. Yang aku tahu hanya sinyal lampu mulai meredup, mesin tak mau menyala, hujan deras angin kencang, dan di mana-mana air yang bergejolak tidak karuan. Aku menangis, aku meraung, tetapi tidak ada yang mendengar. Siapa pula yang akan mendengar? Siapa orang bodoh yang keras kepala akan mencari ikan demi memenuhi kotak putih untuk bisa dijual dan mengabaikan peringatan bahwa cuaca lagi tidak menentu?
Lalu apa yang bisa lagi aku lakukan, selain membiarkan itu semua terjadi dan membiarkan hidup menjalankan kehidupannya. Tak ada doa untuk menghentikan hujan, tak jua untuk mencegah angin datang atau mengusir gelombang. Tak ada. Saat itu aku belajar, tidak ada itu. Seberapa doa yang diucapkan tidak akan menghilangkanmu dari kemalangan untuk menghadapi situasi itu, situasi yang aku cari sendiri.
Doa-doa itu mungkin sedikit membangunkan harapan, memperteguh keyakinan. Setidaknya itu sedikit kurasakan sebelum mesin-mesin itu mati. Hujan tetap bercucuran, angin tetap berhembus kencang. Demikian juga petir dan gelombang. Mereka tidak berhenti, tidak pula kemudian aku bisa keluar dengan sampanku dari situasi itu. Malah yang terjadi seperti yang aku ceritakan, mesin-mesinku mati. Jadi apa yang harus aku lakukan? Aku masih berada dalam situasi ini bersama dua buah kotak sialan di atas sampan yang terus terombang-ambing tak menentu arah. Sampan tanpa tenaga yang mendorongnya mencapai tujuan.
Seorang lelaki termangu di atas sampan. Pandangannya menembus gelap malam. Riak gelombang dan hujan yang mengguyurnya tidak membuatnya bergeming. Dia hanya duduk diam dan membiarkan air mata mengalir bersama hujan.
“Sebentar saja, sampai jam 10 saja,” kalimat yang aku ucapkan kembali terngiang di kepalaku, lengkap dengan wajah istriku yang cemas sambil menggendong putraku. Menyusul wajah bayi mungil yang tersenyum menatapku. Jari kasarku merasakan bagaimana lembut jemari mungil ketika aku menyentuhnya. Jemari mungil yang bahkan belum bisa memanggilku. Senyum lembut yang hanya bisa menangis ketika lapar tiba.
Hari bertambah gelap. Sampan yang kutumpangi tak juga kunjung karam. Hujan lebat hanya menyidaan gerimis tanpa suara petir yang menggelegar. Aku berdiri, meraba saku, dan menemukan rokokku yang telah hancur oleh air.
“Aku tak bisa diam di sini, aku sudah janji pulang,” pekikku dalam hati.
Aku melangkah kembali menuju mesin yang masih menempel di ekor sampan, berusaha menarik tali untuk memutar mesin, menyalakannya, mmemanfaatkan situasi yang mulai tenang. Menariknya, menggoyangnya, memukulnya, mencoba segala cara untuk membantuku kembali ke daratan.
“Ayolah, kali ini saja, menyalalah,” pekikku yang ditelan berisik air laut.
Namun sial, tetap saja mesin itu tak menunjukkan niatnya untuk mengabulkan permintaanku. “Tolonglah, menyalalah,” kembali aku bicara pada mereka dan mereka tetap diam tak bergeming.
“Persetan dengan kalian,” ucapku sambil memukul mesin yang telah mengkhianatiku.
“Aku harus pulang, menepati janjiku untuk pulang.”
Mesin-mesin bisa mati, tapi niat untuk pulang yang kembali muncul mendorongku untuk menggeledah dasar sampan, mencoba mencari apapun yang tertinggal dan bisa aku gunakan untuk membantuku pulang. Sebuah dayung tergeletak, basah oleh air yang sempat menggenangi sampan.
Hujan masih turun halus. Aku tak tahu arah, semua masih gelap. Tak ada bulan, tak ada bintang yang bisa menuntun, tak juga ada kompas yang bisa menunjukkan. Hanya malam, aku, sampan, dan niat pulang yang membawa serta dayung bersamanya.
Aku tidak tahu di mana pantai yang menjadi halaman rumahku. Semua yang terlihat hanya air, tak ada lampu atau kerlip mercusuar di kejauhan sebagai penanda daratan. Ketika aku coba mencari ke mana arah yang harus kutuju, mengatur dayung, mengarahkan sampan, yang terlihat hanya air dan air.
“Yang penting sampai daratan, di manapun itu pasti bisa pulang,” kataku meyakinkan diri.
Keyakinan yang kembali kudapatkan setelah janji yang kuucapkan mengingatkanku pada mereka. Perempuan dan bayi mungil yang menungguku dengan senyum dan tangisannya.
“Sampai di darat, sampai daratan,” hanya itu yang aku rapalkan sambil lengan terus mendayung sampan menuju arah yang terbentang di hadapanku.
Aku tak lagi memedulikan mesin yang kini mengekor mengikuti arah ke mana sampan aku dayung. Tak peduli apa gerimis masih turun. Gelombang tidak lagi setinggi sebelumnya, demikian juga dengan petir. Aku terus mendayung sampan entah akan terdampar di mana yang penting aku menemukan daratan dahulu. Setelah sampai di darat, baru aku pikirkan bagaimana cara sampai di rumah.
“Sampai di darat,... aku pulang.... Sampai di darat,... aku pulang...,” hanya itu saja yang terus kuucapkan sambil mendayung sampan menerobos gelap malam.
***
“Pak Hamid belum pulang,” seorang perempuan memberi tahu lelaki tua yang membuka pintu, terbangun setelah mendengar suara pintu diketok dan namanya dipanggil berulang kali.
“Jam berapa sekarang?” lelaki tua itu bertanya pada perempuan yang membangunkannya, seorang bayi tampak terlelap di dalam gendongannya.
“Sudah jam 2, Pak,” perempuan itu menjawab.
“Dari sore tadi dia belum kembali?”
“Iya, Pak,” perempuan itu menjawab. “Perasaan saya tidak enak, Pak. Mana Ahmad dari tadi nangis terus, ini baru mau tidur,” lanjut perempuan itu.
Hari masih gelap, angin bertiup kencang, langit gelap tanpa bintang atau bulan yang menghiasi.
“Ya sudah, kamu istirahat di sini saja,” kata lelaki tua itu.
Seorang perempuan tua keluar dari kamar. Matanya masih terlihat enggan terbuka. “Sini, Ndah,” ia mengajak perempuan dan bayinya masuk ke dalam rumah.
“Sini, ibu yang gendong. Kamu istirahat sana,” perempuan itu mengambil bayi dalam gendongan Endah. “Bapak mau ke mana?” lanjutnya ketika melihat lelaki tua itu mengganti pakaian yang dikenakannya tidur.
“Bapak coba cari ke pantai,” lelaki tua itu menjawab sambil bergegas keluar rumah.
“Hati-hati, Pak,” kata kedua perempuan itu nyaris berbarengan.
“Kamu tidur aja dulu, Ndah,” perempuan tua itu menyarankan menantunya, “Biar dapat istirahat walau sebentar.”
“Perasaan saya tidak enak, Bu. Mas Hamid tidak penah pulang pagi,” jawab Endah. “Saya takut ada apa-apa menimpa Mas Hamid”
“Jangan mikir macam-macam, mungkin dia keasyikan ngobrol di pantai,” jawab perempuan tua itu.
Cahaya tiba-tiba muncul di halaman, diikuti bunyi mesin sepeda motor yang bergerak menjauhi rumah, melewati gang kecil yang diimpit pagar.
“Mas Hamid tidak pernah tidak pulang sampai selarut ini,” Endah tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, “Apalagi setelah kelahiran Ahmad.”
“Iya, ibu tahu. Kita berdoa saja semoga dia baik-baik saja,” perempuan tua itu coba menenangkan Endah, coba menyembunyikan kekhawatiran akan putranya yang disembunyikan di balik keriput dan temaram nyala lampu yang menggantung di langit-langit. “Atau ambil bantal dan berbaring di sini,” lanjutnya.
Endah melangkah masuk ke kamar dan keluar dengan sebuah bantal yang diletakkannya di sebuah kursi bambu panjang. Dilihatnya tubuh mungil dalam gendongan mertuanya menggeliat.
“Ssstt…sssttt…ssttt…, bobok, Nduk, masih malam,” kalimat keluar dari perempuan tua sambil menggoyangkan cucu dalam gendongannya dengan lembut.
Suara kursi bambu berdenyit menerima tubuh Endah yang berbaring di atasnya. Perempuan tua itu masih berdiri, menggoyangkan gendongannya, dan sesekali memandangi wajah cucu pertama yang kini sedang terlelap dalam gendongannya.
***
Gelap masih menyelimuti pantai. Sampan-sampan berjajar di atas pasir, ditinggal pemiliknya yang sedang lelap mencari mimpi di bawah langit-langit penuh laba-laba dan tikus yang tak tahu berkeliaran keluar masuk ruangan.
Sebuah nyala sepeda motor menerobos gelap sebelum akhirnya diganti langkah kaki lelaki tua menyusuri pantai, berharap menemukan seseorang masih terjaga di sana.
“Mau turun?” seorang lelaki tiba-tiba menyapa dari dalam gubuk.
“Ndak,” lelaki tua menjawab. “Han, kamu ada lihat Hamid?”
“Lihat siang tadi,” jawab Johan, “Ada apa?”
“Dia belum pulang.”
“Dia turun kayaknya,” Johan berkata ragu.
“Iya, istrinya bilang dia turun tadi siang,” lelaki tua itu membenarkan. “Sudah tahu cuaca masih seperti ini tapi nekat turun,” lanjutnya.
“Coba lihat sampannya,” Johan mengusulkan.
Dua lelaki itu menyusuri pantai, menelisik setiap sampan yang termangu di atas pasir.
“Siapa saja yang turun tadi?” lelaki tua itu bertanya pada Johan.
“Ndak banyak, hanya di pingggir saja. Tidak ada yang berani ke tengah dan mereka sudah balik semua,” jawab Johan. “Itu sampan mereka,” lanjut Johan sambil menunjuk sampan berwarna cat biru dengan mesin terbungkus terpal hitam.
“Sial, ke mana dia,” lelaki tua itu menggerutu.
“Sepertinya dia belum balik, kamu mau mencarinya ke tengah?”
“Di tengah mau dicari ke mana?” lelaki tua itu menanggapi pertanyaan Johan.
“Lagi pula, cuaca masih seperti ini.”
Mereka kemudian duduk di sebuah amben yang diletakkan di atas pasir di bawah pohon ketapang yang telah menggugurkan daunnya.
“Kamu sudah coba meneleponnya?” Johan memecah keheningan.
“Sudah, tetapi tidak aktif.”
Kembali sepi menghampiri. Johan menatap raut khawatir rekan yang duduk di sebelahnya, “Kamu mau melaporkannya?”
“Jam berapa sekarang?” pertanyaan dilontarkan pada Johan.
“Sudah hampir jam 3,” jawabnya, “Kamu mau menyusulnya?”
“Aku tidak tahu,” lelaki tua itu menjawab. “Ke mana mau dicari.”
Sebuah sampan dengan cahaya yang begitu redup bergoyang-goyang menepi.
“Lihat itu,” Johan menunjuk sampan di kejauhan.
Lelaki tua itu menoleh dan bergegas belari ke arah sampan itu menepi. Johan berlari mengikutinya.
***
Seorang lelaki tampak menikmati matahari pagi di halaman. Senyum terpancar menatap bayi mungil yang sedang digendongnya. Sebuah kopi dalam gelas menunggu di meja yang setia menemani beranda menerima tumpahan lelah, gelisah, risau, dan segala rasa yang harus dialami penghuninya.
“Mid...,” sebuah suara diikuti sosok lelaki tua muncul dari belakang rumah.
Suara itu membuat lelaki yang sedang menikmati pagi bersama buah hatinya itu segera berpaling. “Ya...”
“Sampanmu sudah laku,” lelaki tua itu menyampaikan.
“Kenapa dijual?” Hamid bertanya, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Lalu aku pakai apa?”
“Kita cari lagi yang baru. Sementara belum ada gantinya, kamu pakai sampan Bapak saja,” lelaki tua itu menjawab.
“Tetapi kenapa harus dijual?”
“Sampan itu bawa sial. Kamu hampir hilang gara-gara sampan itu,” lelaki itu menjawab.
l.taji//18.2.19