Asap keluar dari bibir hitam dengan sudut keriput yang tak bisa disembunyikan, tak ingin juga disembunyikan. Tangan menggenggam kendali mesin yang menderu di belakangnya. Kulit gelap terbakar terik dan sepanjang hari digarami laut.

Beberapa ekor tongkol berjejal dalam kotak stereoform tanpa es. Sesekali matanya memandang ikan lalu kembali memandang ke kejauhan, hamparan garis pantai, daratan tempatnya berlabuh, tempat keluarganya menanti.

Hasan, lelaki tua dengan baju kumal yang melekat erat di tubuhnya, lengket oleh butir-butir air laut yang tertiup. Lengket oleh hujan yang jatuh disaat yang bersamaan, kemudian mengering oleh waktu.

“semoga cukup untuk modal besok” Hasan bergumam di antara asap yang dihembuskannya.

Gelombang telah mengombang ambingnya, pasang surut juga begitu serig mempermainkan, demikian juga dengan angin dan arus yang datang seenaknya. Namun satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya memulai hari lebih pagi, menjelajah laut lebih jauh.

Hari itu air sedang pasang, namu sayang pasang air laut tidak berbanding lurus dengan keberuntungan untuknya, berarti tidak pasang juga untuk keluarganya.

Tangan gelap, keriput, pembuluh darah tegas menjalar dan membelit, dengan lihai menggerakkan tuas kemudi. Mengatur arah baling-baling yang berputar di bawah permukaan air. Mencari celah diantara gulungan ombak. Daratan yang kian jelas di depan mata menjadi stimulant, obat kuat untuk tubuh yang telah kelelahan melempar kail di tengah gelombang yang melindungi ikan-ikan yang berenang di bawahnya.

“sial baunya keras sekali” tiba-tiba sebuah kalimat terucap, tidak bisa ditahannya.

Matanya mencari sumber aroma yang mengganggu hidungnya, menyisir pantai yang hendak di tuju. Beberapa sampan tampak bergoyang-goyang dikejauhan, sementara sampan-sampan yang lain telah berbaris di atas pasir. Sampan yang telah tiba lebih dahulu. Tiba sebelum dia.

Kepulan asap tebal membungbung dari sebuah kapal yang bersandar di dermaga.

“sial kenapa asap setebal itu dibiarkan saja” katanya ketika berhasil menemukan sumber aroma tajam yang menusuk hidungnya.

Sebuah tuas yang lain di tarik, baling-baling berputar lebih kencang, air memercik, sampan melaju lebih cepat menuju daratan, sementara asap dari kapal tongkang di dermaga tak kalah cepat tertiup ke daratan.

Mendekati bibir pantai lelaki itu mematikan mesin, dua orang lelaki lebih muda yang sedang berada di pantai menghampiri sampan. Memasauki perairan yang kian dangkal, Hasan melompat dari sampan, turun ke dalam air.

Dua orang warga membantu mendorong sampan ke atas pasir.

Aroma tajam kiat menusuk.

“kalian tidak menciumnya?” Tanya lelaki tua setelah berhasil mencapai daratan.

“iya. tercium” jawab sandek ketika sampan telah berlabuh di atas pasir. “dapat?”

“sedikit, gelombangnya tinggi sekali. Tidak ada ikan yang mau narik” jawab Hasan.  “itu lho asapnya hitam sekali” Hasan melanjutkan.

“ya mau bagaimana lagi, nanti juga hilang” sandek menjawab. Sandek, salah satu warga yang membantu mendorong sampan ke tepian. Sosok yang telah bertahun-tahun menjadi tetangga.

“dari jam berapa asap ini?” Hasan bertanya sambil menutup hidung dan melangkah hendak mengambil kotak putih berisi nafkah yang berhasil dikumpulkannya dari laut sepanjang hari itu.

“dari pagi, sekitar jam 8 an” kata Jovan, rekan Sandek dengan kaos merah jejak pemilu tahun lalu.

“sudah dari pagi dan kalian diam saja?” Hasan bertanya dengan nada tinggi.

Kedua tangannya tak lagi menutup hidung berganti mangangkat kotak putih dan membawanya melangkah meninggalkan sampan.

Asap mengepungnya, menyusup masuk dalam hembusan nafasnya, menggelitik dinding kerongkongan, memicu batuk yang tak bisa dibendungnya.

Rekan-rekan yang membantunya menepikan sampan menggerumuni isi kotak. Dilihatnya beberapa ekor ikan berjejal di dalam kotak. “kalian mau?” lelaki tua itu menawarkan hasil tangkapan pada Sandek dan Jovan, rekan yang telah membantunya mendorong sampan.

“aku minta seekor” kata Sandek menjawab sambil mengambil beberapa ekor ikan tongkol.

“kamu mau?” Hasan menoleh Jovan, sosok yang lebih muda dengan tubuh yang lebih kekar.

“tidak usah” dia menolak, “jual aja, tadi siang aku sempat turun di pinggir” Jovan melanjutkan.

Asap terus bertiup dari kapal tongkang yang bersandar di dermaga. Kapal tongkang yang penuh memuat batu bara. Asap hitam pekat menyusup tertiup angin. Bergiliran suara batuk dan ludah keluar dari mulut para lelaki yang sedang di pantai sore itu.

Di antara asap dan senja, anak-anak melempar tawa dan canda di antara ombak yang tak pernah menyerah merayap menyentuh bibir pasir.

Hasan menutup mesinnya dengan perlak plastic, menyembunyikannya dari hujan, dari embun, dan uap air laut. Menyembunyikan alat produksi penghidupan keluarganya. Menyembunyikan dengan rapat sebelum akhirnya melangkah meninggalkan pantai menuju rumah.

Bangunan berhimpitan, dia menyusup mengikuti asap yang telah sedari pagi datang mendahuluinya. Meninggalkan satu halaman memasuki halaman yang lainnya. Beberapa perempuan tampak samar di balik asap, berdiri dengan anak dalam gendongan. Berusaha menarik nafas semampunya. Sementara lampu-lampu satu persatu mulai menyala, temaram di tengah kepungan asap, orang-orang tua memilih bersembunyi di tengah ruangan membiarkan bayangan mereka diwujudkan cahaya lampu dan tertangkap mata Hasan.

Tiba di sebuah teras berlanatai semen kusam, dinding hijau muram menahan langit-langit abu. Seorang perempuan keluar dari dalam ruangan.

“sudah dari pagi asapnya tak kunjung berkurang” kalimat sapaan yang dilemparkan pada Hasan yang belum lagi menaruh kotak yang dibawanya.

“kenapa tidak dilaporkan?” jawab Hasan sambil meletakan kotak ikan yang dibawanya.

“siapa yang berani melaporkan?” jawab perempuan di hadapannya.

“ya sudah ini timbang dulu ikannnya, dapat sedikit,” Hasan menjawab.

Perempuan itu mengambil kotak putih yang diletakkan Hasan kemudian melanngkah meninggalkan teras, masuk lebih dalam ke dalam kepungan asap.

“sial” gumam hasan sambil melangkah meninggalkan teras menuju kamar mandi yang ada di ujung pekarangan.

Tubuh yang lengket oleh keringat dan uap asin air laut, lelah setelah memecah gelombang sepanjang hari, dan hasil tangkapan yang tak seberapa menjejal dalam diri Hasan.

Jejalan yang kian sesak dengan kenyataan rumah tempat keluarganya berada, tempat dia akan pulang dan merebahkan diri ternyata pekat oleh asap hitam, tebal.

Sebuah sambutan yang membuat jejalan kian menghimpit, kian menyesakkan.

Tanpa berbicara sepatah katapun Hasan keluar dari kamar mandi dengan subuah handuk kumal, masuk kedalam rumah dan kembali keluar dengan pakain yang cukup bersih.

Wajahnya terlihat lebih segar walau tetap saja amarah tidak bisa disembunyikan. Amarah yang bisa terlihat dengan jelas keluar dari tatapan matanya. Tampak jelas dari gerak tubuh dan langkah kakinya.

Dia melangkah meninggalkan rumah, melangkah diantara batuk, ludah yang terus dikeluarkan dan usaha tetap bernapas.

“Sandek… Sandek…” Hasan berteriak di halaman sebuah rumah.

“ada apa San?” seorang perempuan tua muncul sambil terbatuk-batuk.  Menyusul beberapa warga bermunculan.

“Sandek mana Mak?” Hasan menanyakan keberadaan rekan satu kampung yang tadi sore membantunya mendorong sampan ke pantai.

“Ndak ada di rumah, masih di pantai sepertinya” perempuan tua itu menjawab, suara batuk lemah mengikuti gerakan otot-otot rentanya. “memangnya ada apa San?” Tanya perempuan tua itu.

“asap ini mau diiarkan sampai kapan” jawabnya sambil melangkah menuju pantai. Langkah yang diikuti beberapa pemuda dibelakangnya.

Disebuah gubuk terlihat Sandek sedang berbincang dengan lelaki lainnya.

“Sandek….” Suara Hasan membuat sandek memalingkan lehernya, terkejut, menoleh ke arah suara.

“bagaimana mmungkin kau bisa diam melihat asap setebal ini?” Hasan langsung menyerangnya.

“terus kamu mau bagaimana?” jawab Sandek spontan.

“iya San asapnya memang tebal, sudah dari tadi pagi” lelaki di hadapan Sandek menimpali.

“lalu kenapa kalian yang sedari tadi di rumah hanya diam saja?” Hasan kini bertanya pada dua lelaki yang sedari tadi menikmati senja dan asap di seuah gubuk di pinggir pantai.

“kamu mau kami melakukan apa?” Tanya sandek.

“ya suruh mereka menyingkirkan asap ini”  katanya menjawab.

“kakmu kira asap ini bisa dibungkus?” Sandek  membalas dengan pertanyaan.

“hahahaha” lelaki yang ada di sebelah Sandek tertawa spontan mendengar jawaban Sandek.

“sial, aku sesak menihirup asap ini” kata Hasan. “apa kalian tidak merasakannya?”

“iya, anakku juga susah bernafas gara-gara asap ini” suara seorang pemuda yang sedari tadi melangkah mengikuti Hasan.

“San,ini bukan kali pertama asap masuk ke kampung kita” kata Sandek.

“iya, tetapi tidak pernah setebal ini” kata Hasan, “ini sudah dari tadi pagi dan mereka tidak juga punya niat baik menghentikan asap ini” lanjut Hasan.

Asap terus mengepul dari tongkang yang masih menempel di dermaga, berhembus tersamarkan gelap, kemudian mewujud jelas di bawah cahaya lampu. Suara batuk bersahutan dari dalam rumah, tersamarkan deburan ombak yang tidak pernah berhenti.

“Sandek, kamu kepala lingkungan, kamu seharusnya yang menyampaikan keluhan kami, wargamu” kata Hasan.

“yang mengeluh kan hanya kamu, warga yang lain yang lebih dahulu mencium asap ini saja tidak secerewet kamu” kata Sandek.

“hanya karena mereka tidak cerewet bukan berarti mereka nyaman dengan asap yang menyengat ini, atau hidungmu sudah rusak?”

“apa kamu terganggu Man?” hasan bertanya pada lelaki yang duduk di sebelahnya.

Iman hanya diam, tidak sepatah katapun muncul dari mulutnya.

“kamu terganggu Rus” Tanya Sandek pada Rusdi pemuda yang tadi mengeluh dan masih berdiri dibelakang Hasan. “kamu mau komplain ke sana Rus?” lanjutnya Sandek.

Hasan melihat wajah Rusdi yang tersamarkan gelap malam dan hembusan asap.

“kalau kamu mau Komplain Rus, sana komplain sendiri” Sandek melanjutkan sebelum Rusdi menggerakkan bibirnya untuk menjawab.

Satu persatu lelaki berdatangan dari arah cahaya pemukiman warga, beberapa orang diantaranya menggunakan penutup hidung alakadarnya.

“kamu tidak bisa seperti itu, kamu kepala lingkungan, yang kami tuakan” kata Hasan.

“tapi aku tidak merasa terganggu” jawab Sandek, “lagi pula jangan lupa San, kau sudah menerima apa, kamu ingat kan? Atau perlu aku ingatkan?” Sandek mengungkit apa yang sudah diterima warga di lingkungan yang dipimpinnya.

Wajah hasan memerah, geram mendengar kalimat dari yang dilontarkan Sandek.

“maksudmu apa?” Tanya Hasan denga nada tinggi. “jadi hanya karena aku menerima pemberian mereka maka aku tidak boleh mengeluh?”

“aku hanya mengingatkan San, warga kita sudah menerima banyak bantuan dan tidak mempermasalahkan keberadaan mereka. Kamu mau ingkar dari apa pilihan sikapmu mendukung mereka?” Tanya hasan.

“persoalannya sekarang asap mereka sudah keterlaluan, jika  asapnya tipis dan sebentar aku tidak masalah, ini sudah seharian dan pekat. Kamu tidak dengar suara batuk-batuk itu?” kata hasan.

“jadi karena asap ini kemudian kamu akan mempermasalahkan dan melupakan pemberian mereka?” Sandek bertanya.

“ayolah Hasan ini bukan hal baru yang pertama kali terjadi, sebentar lagi juga hilang tertiup angin” Iman mencoba menenangkan Hasan.

“Man, mungkin kamu tidak sesak. Kamu Juga tidak punya bayi, jadi kamu bisa bilang seperti itu” kata Hasan. “memang ini bukan kali pertama asap masuk ke kampung kita. Aku tahu itu”

“namun karena baru kali ini kejadiannya separah ini. Asap setebal dan semenyengat ini. Dan kebakaran yang terjadi seolah dibiarkan begitu saja.” Suara Hasan kian tinggi. “kita tidka bisa membiarkan kebakaran batubara di tongkang mereka dibiarkan begitu saja, mereka harus berusaha memadamkannya”

“karena itu maka kita harus segera mengingatkan mereka, agar mereka tidak kebiasaan seenaknya. Lagi pula ini sudah berlangsung dari pagi dan tidak kunjung hilang, bagaimana mungkin asap ini akan segera hilang?” hasan masih berbicara.

Beberapa warga kian ramai berdiri disekitar gubuk.

“jika tidak diingatkan, mereka tidak akan melakukan apa-apa. Jika kalian mau menunggu, menunggu sampai kapan? Sampai batubara diatas tongkang itu habis jadi abu?” Hasan melempar pertanyaan dengan pandangan tajam menatap Sandek dan sesame warga yang sedari tadi hanya duduk di gubuk.

“tunggu saja, sebentar lagi batubara di tongkang yang terbakar itu juga akan habis diangkut ke dalam” jawab Iman.

“tunggu, tunggu sampai semua sesak nafas, tunggu sampai cucuku muntah-muntah?” kata Hasan. “atau tunggu sampai satu persatu bati, orang tua dan anak-anak dilarikan ke UGD?

“Sandek, jika kamu tidak mau bicara sama mereka untuk menyingkirkan asap ini maka aku yang akan ke sana sendiri” lanjut Hasan.

“lakukan San, lakukan saja!! Tunjukkan betapa tidak tahu dirinya dirimu, kemarin menerima hari ini komplain” serang Sandek.

“ini persolan berbeda, sekarang mereka keterlaluan, membiarkan asap sedemikian pekat masuk ke  kampungku. Masuk ke dalam rumahku” jawab Hasan.

“lalu kenapa baru sekarang? Kenapa kemarin-kemarin kamu menerima pemberian mereka?”

“karena kemarin-kemarin tidak sepekat ini. Kau lihat bagaimana warga susah bernafas hari ini dan kau hayna memilih diam” balas Hasan.

“aku diam karena aku sadar, kita sudah menerima begitu banyak pemberian dari mereka. Kita sudah menandatangani pernyataan menerima keberadaan mereka dan tidak merasa terganggu” Sandek mengingatkan bagaimana sikap warga yang dipimpinnya selama ini.

“ini persoalan lain, aku tidak mau keluargaku mati kercunan malam ini. Jika kau tidak mau menemui mereka cukup diam Sandek, aku yang akan ke sana” Hasan berbalik, mengakhiri perdebatan tak berujung dengan Sandek.

“jika ada yang mau ikut ayo.. jika tidak aku akan ke sana sendiri”  kata Hasan pada lakilaki yang hadir  di pantai malam itu.

“sana pergi. kalau perlu komplain aja lebih besar agar kampung kita dapat  bantuan lagi” kata Sandek.

“tutup mulutmu..!!!” balas Sasan pendek sambil melangkah menuju ke arah dermaga. Langkah kakinya diikuti Rusdi dan beberapa warga lain yang yang sepakat dengan Hasan.

Suara ombak menyamarkan langkah warga yang mendatangi sumber asap, mendatangi PLTU yang menjadi tetangga mereka, mengadukan bagaimana asap masuk memenuhi kampung, menyusup kedalam rumah, menyamarkan terang lampu, masuk ke bilik-bilik dan meniduri kasur, menjejak selimur, menggenggam tiap serat. Masuk menyusup dalam tiap rongga, terhisap, sesak, mencekik, menyesakkan.

***

Siang begitu gerah, meski sedang tepat di atas kepala awan kelabu yang melapisi langit mencegah sinar matahari leluasa memamerkan teriknya. Beberapa mobil truck tampak parkir rapi, pengemudinya duduk di emperan warung, menunggu makan siang mereka dihidangkan si pemiik warung.

“katanya si hasan bersama beberapa warga semalam protes ke PLTU”  kata seoarang lelaki, Si Pemilik warung yang sedang menyiapkan pesanan sebuah minuman sachet.

“Iya, katanya sih begitu, gara-gara asap batubara yang terbakar masuk ke kampung mereka” kata seorang lelaki dari atas motor. Lelaki yang memesan sebuah minuman sachet.

Kedekatan diantara mereka membuat transaksi jual beli tidak perlu dilakukan dengan basa-basi sopan santun.

“aku juga dengar begitu” kata Si Pemilik warung sambil menuangkan air ke serbuk kuning minuman sachet yang telah terlebih dahulu berada di dalam gelas.

Di sebelahnya seorang perempuan sibuk mengambil lauk untuk dijejalkan pada piring yang telah berisi nasi.

“nah itu mukanya si Hasan ketika kemarin bilang kalau PLTU tidak mengganggu” kata lelaki yang duduk diatas motor menujuk Koran yang sedang di buka oleh salah satu pengunjung warung yang duduk di dekatnya parkir, menunggu.

Pengunjung yang sabar menunggu giliran nasi pesanannya tiba.

“ini koran lama Pak” celetuk Si Pengunjung, menjelaskan koran yang dalam genggamannya merupakan koran lama yang tergeletak di meja warung. Tergeletak begitu saja, kumal.

Lelaki di atas motor hanya tersenyum melihat penjelasan Si Pengunjung yang masih dengan koran dalam genggamannya. Matanya bergerak dari satu kata, ke kata selanjutnya, dari satu kalomat ke kalimat lain, dari satu paragraph ke paragraph kemudian. Sementara telinganya dengan seksama menunggu lanjutan obrolan dari pemilik warung dengan lelaki di atas motor.

Mencoba mencari hubungan antara berita yang dibaca dengan obrolan dua lelaki yang tiba-tiba harus didengarnya.

“setidaknya dia sekarang sudah merasakan secara langsung bagaimana dampaknya, jadi tidak hanya sekedar dakang-dukung” kata Si Pemilik warung sambil melangkah dari dalam warung dengan minuman sachet berwarna kuning, dengan es batu, dingin, dalam kantong plastic di tangannya. Melangkah menuju di pembeli yang masih duduk diatas motor.

“iya, jadi besok-besok tidak langsung dukung hanya karena sekilo daging qurban” kata lelaki di atas motor sebelum menerima kantong plastic berisi minuman sachet dingin. Menyerahkan selembar rupiah. Melempar sebuah senyuman pada Si Pemilik warung lalu kemudian berlalu bersama sepeda motornya.

L. Taji

20.1.19

Edited

02.25

“apa yang kau masak hari ini?”

Tentu saja pertanyaan itu datang begitu saja, danatang walau tidak kemudian menggetarkan genderang telingaku. Suara mesin gerinda di belakang rumah begitu jelas, keras terdengar, sibuk sedari pagi memotong besi. Suara gerinda sibuk itu telah terlebih dahulu menguasai gendering telingaku.

Pertanyaan itu hadir begitu saja. Sementara telingaku sedang sibuk dengan alunan music yang tidak akan kau suka. Musik yang aku putar untuk menyamarkan suara gerinda. Menyamarkan kendaraan yang melintas hilir mudik, gonggongan anjing, suaran gerbang biru yang dibuka-tutup oleh penghuninya yang sibuk, sibuk keluar masuk.

“apa yang kau masak hari ini?” itulah pertanyaan yang datang begitu saja.

Seperti seekor kadal yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. Atau seekor anak cicak yang melintas di bawah gelas kopi yang terongok beberapa hari. Entah itu kopi hari apa, aku lupa, yang aku tahu dia telah berubah fungsi menjadi rumah untuk sekoloni jamur.

“aku belum memutuskan” jawabku. “yang jelas hari ini aku tak akan memasak keringatku” lanjutku.

Tidak ada pertanyaan susulan. Hanya gonggongan seekor anjing terdengar sayup-sayup mengejar kendaraan yang melintas. Sayup-sayup diantara suara gerinda dan alunan musik memutar lagu selanjutnya.

Keringatku belum cukup untuk bisa dimasak, walau dia merembes keluar dari pori-pori namun tetap saja masih tidak cukup.

Hujan yang hadir dengan semena-mena membuatnya begitu cepat larut dan luruh bersama lumpur yang bangkit, mengalir menyapa akiku. Mengalir menuju selokan.

“Keringatku belum cukup untuk bisa aku masak hari ini”

“lalu apa yang akan kau masak hari ini?” pertanyaan itu kembali datang, tidak puas dengan jawaban yang kuberikan.

“aku belum memutuskan!” jawabku tegas.

Untuk apa tahu tentang apa yang akan aku masak hari ini. Untuk apa tahu tentang apa yang akan aku makan hari ini. Aku tak ingin memberitahukannya.

Tanah masih basah, hujan lebat semalam hingga pagi tadi masih menyisakan jejaknya. Sementara speaker sedang memutar lagu selanjutnya, lagu yang tidak aku tahu judulnya, namun aku tahu kau tidak akan suka.

Aku memutarnya hanya untuk menyamarkan suara kendaraan yang melintas. Menyamarkan suara perempuan di belakang dinding yang tak pernah lelah memarahi anaknya. Marah akibat si anak tidak segera mandi, atau mengompol, atau susah disuruh makan. Atau ratusan alasan lain untuk marah. Ratusan alasan agar dia bisa marah.

Mungkin saja amarah itu bisa menjaganya tetap waras dan masih bangun pagi dan menyiapkan ratusan keperluan anak-anaknya.

Pertanyaan itu tidak muncul. Namun kini suara perempuan di belakang dinding kian meninggi dan bertubi-tubi. Seperti berondongan senapan mesin yang ditembakkan dengan dendam.

Volume musik aku besarkan, aku tidak ingin mendengar berondongan amarah.  Juga tak mau mendengar tembakan pembalasan yang akan kian membabibuta. Berondongan amarah balasan yang akan menyusul kemudian.

Biarkan saja instrument yang tak aku mengerti itu memenuhi telingaku.

Aku duduk dengan segelas kopi yang aku buat siang tadi. Dengan gelas lain yang aku letakkan di sebelah segelas kopi yang telah hadir terlebih darulu. Segelas kopi dengan jamur mengambang di permukaannya. Teronggok begitu saja di salah satu sudut ruang keluarga.

Ruang keluarga yang bahkan telah lama kosong, ditinggalkan. Mereka telah pergi untuk berlari mengejar mimpi-mimpi mereka.

Jamur mengambang dari sisa kopi yang entah telah berapa hari aku abaikan. Aku ingin membiakkannya, siapa tahu itu adalah jamur yang bisa membuat mimpi-mimpi bisa terlupakan. Sehingga tak ada lagi yang perlu berlarian, berkejar-kejaran mengejar mimpi dan pada akhirnya saling meninggalkan. Berakhir untuk saling meninggalkan.

Tentu saja keinginan itu akan kalah oleh kenyataan, aku perlu gelas untuk setiap kopi pahit yang aku butuhkan untuk mengawali hari. Melewati hari di rumah ini. Menikmati waktu bersama ruang keluarga yang kesepian setelah ditinggalkan keluarganya.

Gerbang biru terdengar dibuka, lengkap dengan suara penghuninya yang melengking tinggi.

Aku ingin membesarkan volume musikku, namun hari telah gelap. Akan ada dua teriakan yang silih berganti menghimpitku dari depan dan belakang. Apa yang sebenarnya mereka banyangkan dengan teriakan teriakan yang mereka pekikkan.

“apa kau akan memasak hari ini?” pertanyaan itu kembali. Pertanyaan yang berubah dari sebelumnya.

Aku tidak ingin langsung memutuskan untuk menjawabnya. Bisa jadi pertanyaan itu adalah sebuah perangkap untuk pertanyan-pertanyaan selanjutnya yang tak akan pernah berhenti. Pertanyaan yang akan memancing aku harus mengungkapkan apa yang hendak aku lakukan dan kenapa melakukan itu.

Atau aku tidak menjawabnya karena memang aku tidak ada gambaran apakah aku akan memasak atau tidak hari ini.

Sejujurnya sudah beberapa hari ini aku tidak memasak. Ada persoalan api yang tak mau menyala. Bahkan ketika gas melon telah berhasil aku isi ulang, sebagai sumber energi bagi si api bisa kembali menyala. Belakangan niatku hanya berhasil sebatas membuat air panas.

Hanya air panas untuk kopi. Sama rebusan daging giling untuk anjing yang tak tahu diri. Serta menghangatkan opor dan rendang instant kemasan yang dikirimkan sebagai hadiah hari raya tahun ini.

Itu tentu tidak masuk dalam kategori memasak.

Sebatang rokok lembab aku ambil dari dalam bungkus rokok yang berserak di lantai. Bungkus rokok yang berjuang keras untuk tetap menjaga sebatang rokok tetap kering. Usahanya berhasil secara citra. Paling tidak rokok itu masih putih mulus tanpa bercak kecoklatan yang akan membuat muak untuk membakarnya.

Namun belum lagi aku menghembuskan asap hisapan pertama dari sebatang rokok yang berhasil diselamatkan oleh sebungkus kertas rokok, pertanyan datang kembali “jadi apa kau akan memasak hari ini?” Kembali hadir begitu saja, seenaknya.

Pertanyaan yang membuatku tersedak.

Sebuah rice cooker buluk teronggok menganga di hadapan kulkas penuh stiker. Aku melihatnya dengan seksama. Melihatnya sambil bersandar pada dinding yang tak mampu meredam lengkingan suara perempuan yang datang dari belakang rumah. Menatapnya, hanya menatapnya.

Apakah rice cooker itu yang sedang melempar pertanyaan padaku?

Jika dia yang melemparkannya, dia seharusnya sudah tahu jawabannya.

Bukankah itu kebiasaan hari ini, melempar pertanyan yang jawabannya sudah diketahui dan sudah berada dalam genggaman. Bertanya bukan untuk mencari tahu, namun untuk memamerkan apa yang diketahui.

‘Ahh, tidak mungkin rice cooker akan melakukan itu’ pikirku diantara asap yang mengepul dari sebatang rokok kretek lembab. Asap hembusan kedua yang jauh lebih nikmat dari hembusan pertama yang kacau oleh pertanyaan.

Aku masih belum beranjak, menikmati sebatang rokok lembab yang berhasil aku temukan di antara serakan bukus rokok kertas favoritku. Duduk bersandar sambil menyeruput kopi dari sebuah gelas yang belum direbut oleh jamur. Belum direbut dan dikuasai oleh kemalasan dan pengabaian.

Aku belum beranjak, masih memandang ke setiap sudut ruang. Serakan pakaian, beberapa selebaran, kursi, dan benda-benda yang sejujurnya aku tidak paham untuk apa harus disimpan.

‘ini ruang keluarga dimana seharusnya gelak tawa dan cengkrama terjadi. Namun alih-alih menyebutnya sebagai ruang keluarga, ruang ini tak lebih dari ruang kesepian. Jadi biarkan saja barang-barang itu hadir, menguasai, meramaikan. Meramaikan kesepian ruang keluarga yang telah ditinggalkan oleh keluarga yang menghadirkan ruang ini, sebagai ruang keluarga’ pikir ku.

Setengah gelas telah habis, setengah batang dari sebatang kretek lembab itu juga telah jadi abu.

‘baiklah aku akan memasak hari ini’ kataku dalam diri, sebelum beranjak dari posisiku. Berdiri dan melangkah dengan setengah batang rokok lembab dan setengah gelas kopi.

Berjalan menuju dapur.

“apa yang hendak kau masak hari ini?” pertanyaan datang lagi. Sebuah pertanyaan bawel yang begitu amat teguh mengejar keingin tahuannya.

“biarkan aku sampai dapur dahulu” kataku. “Setelah itu akan aku putuskan” lanjutku menjawabnya.

Mengambil ulekan yang tertelungkup di sebelah korakan, bercak jamur begitu jelas terlihat. Bercak jamur yang tumbuh akibat pengabaian yang berlangsung. Jamur yang terpaksa harus disingkirkan lewat kucuran air yang menetes perlahan.

Ulekan ditengadahkan.

Sebuah wajan yang telah mengering di rak perabotan masih menyisakan jejak kerak pada pantatnya. Sudahlah, itu riwayat, siapa yang bisa menghapusnya?

Yang bisa aku lakukan hanyalah menerimanya. Menerima setiap jejek kerak yang masih melekat, menerimanya sebagai riwayat kisah, riwayat perjalanan.

Aku menghitung amarahku, menghitung dengan seksama. Ya, aku menghitungnya dengan seksama. Bahkan ketika amarah itu telah keriput dan mengering dalam dingin ruang penyimpanan bawah sadar.

Yang begitu dingin. Begitu dingin mengeringkan.

Aku menghitungnya dengan seksama, mesatikan dalam bilangan ganjil. Mengikuti nasehat seorang ibu warung yang berkata, “pedasnya cabai itu nikmat jika berjumlah ganjil”

Bukankah amarah juga seperti itu? Dihitung dengan seksama dalam hitungan ganjil, dengan keganjilannya.

Aku melempar amarah itu dalam ulekan.

Kemudian menambahkan secumput kecil asin, hanya sejumput kecil duka, sejumput kecil saja, akan pengalaman duka yang dialami.

Aku harus hati-hati pada asin, asin akan melahirkan potensi emosional dan tentu saja kekentalan darah. Aku juga takut rasa asin pengalaman yang berlebih membuat rasanya tidak lagi sesuai dengan keadaan yang terjadi. Membuatnya menjadi pahit.

Berelebih akan menghadirkan selain emosiaonal akibat kekentalan darah juga kebas di lidah, yang akan membuat kepekaan akan rasa menjadi sirna.

Serangkaian perjalanan waktu dan proses saling belajar, yang seharusnya menjadi ruang tumbuh bersama untuk saling jujur telah diinjak-injak, menjadi bangkai. Diinjak-injak dengan dendam dan pembalasan, lalu kemudian dikemas sedemikian rupa dalam bentuk pembenaran diri.

Aku ingin menghadirkannya, dan harus menghadirkannya.

Secuil terasi, rasa sederhana. Butuh sedikit saja, untuk mengingatkan akan bagaimana rentang proses dan perjalan itu diabaikan dan dirubah begitu saja untuk kemudian dihadirkan dalam bentuk baru (pembenaran). Terasi adalah rasa yang hadir dari serangkaian pengorbanan dalam serangkaian rentang proses perjalanan.

Sebuah limau aku iris. Untuk memastikan, luka itu adalah perih yang harus diingat dan dirasakan.

Dalam ulekan mereka terbaring dan siap untuk dikoyak-koyak.

Ulekan melakukan tugasnya, mengoyak semua yang terbaring dalam kuasanya, mencampurnya, menghaluskannya.

Menjadikan hitungan amarah, asin pengalaman, pengingkaran pengorbanan dan perihnya luka menjadi sebuah kesatuan.

“jadi apa yang kau masak hari ini?!” pertanyaan itu masih bertanya.

Api telah aku nyalakan. Wajan dengan kerak di pantat yang tak bisa aku hapus telah aku letakkan di atas nyala api. Sedikit minyak aku tuang dalam wajan.

Pada tunggku satunya, aku coba menyalakan api yang lain. Kletek…mati, kletek…mati, kletek… mati…

Kletek, akhirnya menyala. Sebuah panci dengan air aku letakkan di sana.

Minyak telah mendidih. Potongan kenyataan harus aku iris dan aku lempar dalam wajan.

Potonngan kenyataan. Potongan penuh lemak dan daging tanpa tulang.

Aku mengirisnya, mengirisnya sendiri untuk aku lempar kedalam wajan dengan minyak yang memanas.

Aku memilih irisan kenyataanku, satu irisan aku pikir cukup untuk kebutuhanku hari ini.

Jadi aku lempar dalam wajan dengan minyak panas itu, membiarkan irisan daging kenyataan mulai gemericik mengeluarkan minyak dan airnya.

Aku menunggu, sambil coba untuk mengumpulkan apa yang telah aku ulek.

Sial air dalam wajan di tungku sebelah telah mendidih, sementara irisan daging masih menunggu waktu.

Aku melempar harapan dalam air mendidih.

Melemparnya dalam air mendidih, sambil coba berusaha memastika harapan masih tetap segar.

Irisan kenyataan, yang terabaikan telah matang, airnya telah menguap. Sementara minyaknya keluar sedemikan rupa.

Itu adalah daging tubuhku.

Ketika aku tak bisa memasak keringatku, lalu apa yang bisa aku masak?

“jadi sebenarnya, apa yang kau masak hari ini?” pertanyaan itu muncul lagi.

Aku diam. ‘aku sudah coba kembali masak, dan kau masih saja tetap bertanya’ pikirku.

Memasak bukan urusan untuk menjawab pertanyaan, memasak soal keinginan untuk memasak, keinginan untuk melakukaknya.

“Jadi, apa yang kau masak hari ini?” kembali pertanyaan itu muncul.

“bangsat, aku memasak kesepianku” kataku menjawab.

“hari ini aku memasak kesepianku” jawabku. “memasak kesepianku!” lanjutku tegas.

“Kesepian yang seharusnya aku rasakan 7 tahun lalu, namun pada kenyataannya aku ingkari lewat serangkain pelarian penuh omong kosong. Dan dia kembali hari ini” aku memutuskan menjelasakan.

“Serangkaian pengingkaran yang kemudian harus membuatku kembali ke titik nol. Kesepian dan kesendirian 7 tahun lalu yang harus aku maknai, namun aku berpaling dan memilih untuk berlari, enggan menghadapinya” lanjutku.

Dan hari ini pada kenyatannya aku sedang memasaknya.

“aku sedang masak kesepian dan seksendiarianku” jawabku. “apa kau puas dengan jawabanku?” lanjutku.

“Apa kau puas dengan jawabanku?” aku bertanya balik.

“Apa kau puas dengan jawabanku??” teriakku, bertanya menghardik.

Hening, takda jawaban yang hadir.

Dari depan, teriakan perempuan kencang menghardik bocah, anaknya. Di belakang, perdebatan dengan nada tinggi, kian tinggi menggema.

Suara gerinda masinh nyaring, menderit. Gonggongan anjing jika keras menyalak. Volume perlu music perlu ku naikkan, untuk menghadapi himpitan suara yang kian cepat dan meninggi.

Dan menikmati masakan yang berhasil ku masak, masakan yang tak akan enak untukmu. Karena ini masakanku, yang akan ku santap, ku nikmati untuk menghidupi dan menumbuhkanku.

Irisan luka, dalam bumbu duka, tersajikan dalam baluran saos sepi. Ada bercak hijau harapan, aksen tipis. Dan tentu saja bawang goreng omong kosong.

Itu yang berhasil aku masak, aku hadirkan.

Kenyataan berhasil hidup, hadir untuk aku santap hari ini.

“lihat, lihatlah masakanku. Kau meu mencicipinya?”

Tak ada suara yang muncul.

Si Penanya yang hadir dengan pertanyaan, “masak apa hari ini?” hilang. Hilang ditelan riuh kenyataan.

 

l.taji

13.01.25

1

Sudah 7 hari aku berada di rumah ini, menyaksikan bagaimana perhatian ibuku yang tak bisa aku abaikan, perhatian yang harus dipendamnya selama berminggu-minggu dan ketika perhatian tersebut tidak bisa lagi ditahannya, maka dia akan mengambil gagang telpon rumah, lalu sebuah panggilan akan mencuri perhatianku, suaranya yang terdengar ragu akan bertanya bagaimana kabarku, apa yang aku makan, apa aku punya uang, apa aku rajin sholat dan mengingatan ku untuk tidak meninggalkan sholat, dan sebuah pertanyaan terakhir yang selalu sulit aku jawab. Pertanyaan yang artinya aku harus merubah jadwal kegiatanku, sebuah kalimat yang menanyakan kapan aku akan pulang.

Butuh beberapa saat bagiku sebelum akhirnya menjawab, mencoba mengalihkannya dengan pertanyaan akan topik lain, tapi tidak berhasil, selalu saja akan kembali pada pertanyaan itu.

14 hari yang lalu adalah telpon terakhirnya, yang membuatku kini berada di rumah ini, 7 hari bukan waktu yang singkat, terutama ketika berada dalam kenyataan hidup begitu yang nikmat dan aman, kenyataan yang begitu menggiurkan.

Aku benar-benar diambang batas, aku sudah mulai memasuki fase-fase awal menjadi babi, makan, tidur, sesekali pergi mengantar ke pasar, menyapa lalu berbincang dengan kawan masa kanak-kanak yang kini telah sibuk dengan rutinitasnya, bangun pagi, bekerja, lalu pulang menjelang gelap dengan kelelahan, layaknya semut pejantan yang telah kehabisan energi melayani birahi sang ratu, pemilik modal.

“kamu kerja dimana?” atau ”kamu kerja apa?” menjadi pertanyaan yang selalu saja dilemparkan sahabat masa kecilku, ,saat aku jawab hanya menganggur maka mereka akan dengan murah hati menawarkan lowongan kerja di pabrik-pabrik tempat mereka bekerja, menyampaikan besar gaji yang akan didapat perbulan, pekerjaan yang sejak awal selalu saja aku hindari.

“Iya, nanti aku buat CV dulu” jawabku menghindar, hal yang tidak benar-benar akan ku lakukan, jawaban untuk menghindarkan kesan sombong atau kesan pemalas yang mungkin saja timbul di benak mereka.

“Sarapan dulu?” ibuku berkata sambil menata piring di meja makan.

“Iya” jawabku sambil melanjutkan langkahnya ke dapur, lalu mencuci gelasnya.

“Biarin aja dulu, nanti biar Ibu yang nyuci sekalian”

“Iya”  jawabku pelan, karena gelas tehku telah bersih dan diletakkan diatas rak perabotan.

“Ada kabar apa hari ini?” tanyaku sambil melangkah menuju meja makan. Aku lebih baik mendengar cerita tetang berita koran harian darinya daripada membaca secara langsung. Alasannya sederhana, pertama aku tidak benar-benar tertarik dengan keriuhan yang terjadi, keriuhan yang mulai mirip kecerewetan perawan tua. Kedua, ketika dia menceritakan berita yang telah dibacanya, tanpa disadari ceritanya akan menyajikan pandangannya terhadap peristiwa yangdiceritakannya. Hal yang ketiga, karena aku seperti kembali ke masa kanak-kanak ketika dia selalu punya waktu untuk menceritakan dongeng sebelum aku tidur.

“Tidak ada yang berarti, hanya tentang penistaan agama yang masih menjadi topik hangat serta pemilu Jakarta”

“Ohhh” aku menjawab pendek.

“Sudah makan dulu” ibuku menyela. Tak ingin wujud cinta kasihnya diabaikan oleh hal-hal yang tidak penting seperti politik.

Bagi ibuku ada dua hal yang penting, pertama tentu saja bagaimana urusan para lelakinya, dua laki-laki yang selalu dia khawatirkan, dan yang kedua keimanan.

“Aku mau balik ke Purwakarta hari ini” kataku ditengah suapan nasi goreng favoritku.

“Hari ini?” ibu bertanya.

Aku melirik ibuku yang duduk dihadapanku, melihat matanya mulai memancarka rasa sedih yang coba disembunyikannya. “Iya” jawabku.

“Kamu ada kerjaan?” bapakku bertanya sekaligus memberikan sebuah sinyal, alasan agar ibuku bisa menerima dan rela aku meninggalkan rumah.

“Iya, harus diselesaikan segera” kataku. Maaf Bu, aku harus berbohong,tidak ada kerjaan yang sedemikian gawat dan pentingnya, lagi pula memang aku sedang tidak ada kerjaan. Tetapi diam dirumah tanpa pekerjaan semakin membuat aku terlihat bodoh dan gagal.

“Tidak bisa ditundakah atau kamu kerjakan dirumah saja?”

“Tidak bisa Bu” aku tidak bisa memberikan penjelasan yang panjang, karena semakin panjang penjelasan yang kuberikan maka semakin banyak juga kebohongan yang harus aku karang, dan itu akan semakin menyiksaku.

Ibuku menyendokkan nasigoreng kedalam mulutnya, aku lihat keriput semakin jelas, tak lagi bisa disembunyikannya.

“Udah biarin aja, lagi pula dia pergi untuk kerja” kata Bapakku menyakinkan Ibuku.

Pada satu titik aku dan Bapakku akan saling bahu-membahu membebaskan diri dari rantai sayang dan kekhawatiran ibuku.

“Kenapa kamu tidak pindah dan tinggal di kota ini?” pertanyaan selalu saja datang setiap kali aku pulang.

“Tidak Bu, susah mencari kerja di sini?”

“Mana mungkin, kota ini lebih besar dari kota tempatmu menetap”

Aku diam, memasukkan nasi kedalam mulutku, aku sadar ibuku sedang menatapku, mengawasi dan menunggu jawabanku.

Aku terus mengunyah nasi itu, memastikan mulutku sibuk dan tidak punya kesempatan untuk menjawab pertanyaannya.

“Biarkan dia mencari pengalaman” kata bapakku.

“Aku kira dia suduh cukup lama tinggal jauh dari kita, tidakkah kau ingin dia pulang dan kembali menetap di rumah?” kini ibuku sedang menyerang lelaki satu lagi didalam rumah.

Meja makan ini selalu menjadi medan laga, seorang wanita melawan dua orang laki-laki, jumblah tidak akan memastikan kemenangan, apalagi jenis kelamin, sesekali kali kami kaum lelaki menang setelah melakukan perlawanan sengit, kemenangan yang harus kami bayar dengan permintaan maaf keesokan harinya, karena mengalahkannya sama artinya kami sedang menikam hati kami sendiri dengan sebilah pisau.

“Tentu aku ingin, tetapi dia laki-laki,laki-laki harus merantau dahulu sampai akhirnya dia siap” bapakku masih berjuang.

“Kita sudah tua, bagaimana jika terjadi sesuati pada kita?” ibuku menggunakan lagi senjata pebelaan dirinya...“Seperti ketika hipertensimu kumat, aku harus panik sendiri” lanjut ibuku.

Kini bapakku diam, dia tidak bisa mengelak, sebuah pukulan telak dihantamkan tepat dibawah rahangnya.

“Iya Bu, kalian akan baik-baik saja kok” perbincangan ini harus dihentikan. “Aku mau menyelesaikan kerjaan sebentar, setelah semua selesai aku pasti pulang”

“Iya kapan?” kini aku dikejar untuk menentukan deadline.

“Semoga tidak akan lama lagi” kataku.

“Bagaimana hasil pemeriksaan kesehatan ibu hasilnya bagus kan?” aku melarikan diri.

“Bagus, semua baik, hanya kolesterol aja sedikit naik, tapi kata dokter sih hasilnya bagus”

“Syukurlah, bagaimana dengan punya Bapak”

Harus ada yang dikorbankan untuk mengalihkan perhatian ibuku.

“Kasih tahu bapakmu untuk berhenti ngopi dan merokok sembunyi-sembunyi, dia kira ibu tidak tahu kalau dia masih suka sesekali merokok ketia berkumpul dengan bapak-bapak”

“Itu jarang, hanya sesekali waktu”

“Tapi tensimu kemarin naik, kamu tidak dengar dokter berkata apa…Kamu harus berhenti ngopi dan merokok”

“Sebaiknya bapak menuruti nasihat dokter”, kataku.

“Iya” bapakku menjawab pendek tanpa perlawanan. Dia tahu sebenarnya aku lebih menyarankan untuk semakin rapi mencuri dari ibu.

“Bagaimana kabar Mawar?”

“Baik” kataku menjawab pertanyaan ibuku.

“Sudah lama dia tidak pernah datang kemari, apa hubungan kalian baik-baik saja?”

“Kami baik-baik saja, dia sedikit sibuk dengan pekerjaan barunya”

“Ohhh……Ibu kangen ngobrol dengannya”

Bapakku mendorong piringnya kedepan, mengambil koran dan tersenyum padaku.

“Ibumu pingin mantu” bapakku mengalihkan senyumannya, menggoda ibuku.

“Dia perempuan yang baik, sopan, cantik, pintar, apa lagi yang kau tunggu?” ibuku memuji pacarku. “Dia juga mandiri, kamu juga sudah cukup umur untuk menikah atau kamu mau menunggu dia dibawa lari orang?”

“Tentu tidak ” aku tidak menyadari jawabanku.

“Ya sudah kalau begitu, mulailah berbicara serius padanya”

“Dia masih meniti karirnya,Bu. Aku tidak bisa menghancurkanmasa depannya” kataku, menyembuyikan ketidaksiapanku akan kehidupan yang stagnan.

“Pernikahan tidak akan menghancurkan masa depan, itu pendapat bodoh. Ketika sebuah hubungan sudah disahkan agama semua akan lebih mudah. Bukan begitu, Pak?”

“Iya, benar kata ibumu. Jangan menunda jika kau tidak mau pacarmu diambil lelaki lain”

Orang tuaku selalu sepaham, mereka berdua seolah butuh mainan baru. Rumah ini sepertinya butuh keceriaan anak-anak dan cucu menjadi keinginan mereka berdua.

“Iya” jawabku pendek sebelum menegak segelas air putih.

“Kamu tidak ingin bertemu dengannya sebelum kembali ke kotamu?”Ibuku selalu menyebut kota tempat tinggalku dengan kata kotaku, seolah ingin menekankan jarak yang memisahkan kediaman kami, menegaskan ketidaksukaannya pada jarak yang membentang tersebut.

“Kapan kamu terakhir bertemu dengannya?” ibuku bertanya.

“Dua hari yang lalu aku menjemputnya” jawabku.

“Kenapa kamu tidak mengajaknya mampir kemari?”tanya ibuku.

“Kami hanya makan dan dia terlihat sangat capek. Jadi aku mengantarnya pulang.”

“Kamu sempat bicara dengan orang tuanya?”tanya ibuku kembali.

“Iya, kami sempat berbincang”

“Mereka menyetujui hubungan kalian?”

“Entahlah, yang jelas mereka tidak pernah pernah keluhan”

“Kau harus sopan dan menarik perhatiannya orang tua pacarmu, sepertinya dia dari keluarga baik-baik” ibuku menyarankan sambil melangkah menuju dapur.

“Iya” kataku, mendorong kursiku kebelakang dan berdiri. “Aku mau siap-siap” kataku memberi tahu orang tuaku.

Ibuku melangkah tanpa memberika jawaban, bapakku masih khusyuk dengan korannya. Aku melangkah meninggalkan meja makan dan menuju kamar.

2

“Pakai ya?” katanya padaku ketika menyerahkan sebuah bungkusan.

“Apa ini?” aku ingin dia memberitahuku apa yang diberikannya padaku.

Itu adalah pertemuan terakhir kami sebelum aku memutuskan pergi, setelah satu minggu aku menjadi babi dalam kandang kerinduan… kerinduan akan kota yang menyimpan dua perempuan yang tidak bisa ku abaikan.

“Aku tak bisa menjagamu setiap saat, aku juga tidak bisa tahu keadaanmu setiap detik” dia mengatakannya di sebuah sore, dihadapan dua gelas lemon tea yang kami pesan sore itu. “Jadi paling tidak dengan ini aku mau kau  baik-baik saja”.

Aku menerima bungkusan itu tanpa ingin membukanya. Mata dibalik kaca yang bersinggasana diatas hidungnya lebih menarik dari bingkisan dalam kantung kertas ditanganku.

“Kenapa kau melihatku seperti itu?” katanya setelah ucapan terimakasihku keluar.

“Aku ingin merekammu, rekaman yang akan kuputar ketika aku melakoni perjalananku”

“Jangan jadi picisan” katanya.Dia seolah telah hafal pada setiap jurus rayuan laki-laki.

Kami akhirnya tertawa. Kalimat itu seolah menjadi tali yang akan menarik kami kembali pada kenyataan hubungan tak melulu seindah lukisan Moi Indie yang indah dan romantis.

“Jangan berusaha untuk merayuku karena itu tidak akan berguna” katanya disela-sela tawanya.

“Iya aku tahu, aku tahu kau terlalu cerdas untuk jatuh dalam rayuanku”

“Hahahaha…kau harus berusaha lebih keras”

“Apa yang akan kau kerjakan disana?” katanya bertanya padaku.

“Apa saja, asal aku bisa jauh darimu” sebuah pengakuan dosa keluar dari bibirku, pengakuan betapa lemahnya aku didekatnya.

“Jangan begitu, kau bisa melakukan banyak hal disini” katanya.

“Iya, mungkin. Tapi yang pasti terjadi aku akan merecoki aktivitasmu dan aku tidak ingin melakukan itu” jawabku.

“Kenapa kau berpikir seperti itu?” katanya, sebelum bibir tipisnya menyentuh tepian gelas, lalu meletakkannya.

“Setidaknya jika kamu disini aku jadi tidak harus naik motor sendiri” lanjutnya.

“Baiklah, jadi aku menjadi tukang ojekmu?”

“Hahahaha, aku hanya bercanda” katanya menggoda.

“Aku butuh waras…itu lebih tepatnya.” Kataku.

“Iya, aku tahu. Jangan khawatir” jawabnya.

Kabut turun membuat cahaya  butuh usaha lebih keras untuk bisa tetap menerobos masuk. Burung-burung telah kembali kesarangnya, membawa sedikit makanan yang bisa didapat diantara kulit cemaraatau diantara tumpukan humus yang lembab..

Guguran daun yang telah menguning diatas tanah, menyembunyikan cacing yang menggeliat, diantara daun yang tidak mampu melawan waktu yang ingin segera membuatnya busuk, diantara ketakutan akan burung yang mengintai dengan perut lapar.

Apa yang harus aku lakukan untuk tidak memikirkannya, menjaga jarak bukan pilihan yang baik untuk bisa mengalihkan diri darinya, jarak tidak menghapus ingatan, jarak memupuk kerinduan.

Aku merindu,  bahkan dijaman ketika aku bisa menatap wajahnya kapanpun aku mau, dimasa ketika aku bisa tahu setiap hal yang dikerjakannya.

Jika hari ini kamu ada disini, maka kau akan merasakan betapa dinginnya tanganku, betapa dinginnya butiran air yang perlahan turun menyentuh kulitku dan ketika kau tahu hari ini aku disini kau akan menyalahkanku karena tidak mengajakmu.

“Sampai kapan kau akan lari dariku?” pertanyaan yang dilontarkannya setelah diam untuk beberapa saat.

“Entah lah…mungkin sampai aku bisa menguasai diriku”

“Ibu tidak melarangmu pergi?”

“Dia selalu akan melarangku, tapi itu salah satu alasan aku harus pergi. Kau tahu aku merasa kenyamanan kota ini membuatku terlena” kataku sambil mengambil gelas yang menyisakan setengah isinya.

“Kota ini tidak mengakomodasi keliaranmu?”

“Tidak seperti itu juga, keliaran bisa dilakukan dimana saja Hanya saja ketika ada dikota ini, dengan kau dan ibu didalamnya, aku akan lebih memilih menghabiskan waktu berasa kalian daripada menjadi liar”

“Dan kau tidak mau itu terjadi?”

“Aku belum mau itu terjadi, itu lebih tepatnya”

“Aku tidak akan memaksamu. Tapi ada hal-hal liar yang bisa kita lakukan bersama di kota ini” sebuah godaan muncul dari bibirnya.

“Kau menggodaku?”

“Tidak, jangan berpikir macam-macam”

“Bagaimana kau melarangku berpikir macam-macam tepat disaat kau menawarkan sebuah keliaran bersama?”

“Harusnya kau tahu keliaran yang aku maksud” katanya dengan wajah memerah, mencoba memnyembunyikan rasa malu ketika mengetahui aku menerjemahkan keliaran yang dimaksudnya dengan naluri laki-lakiku.

“Hahaha, lihatlah wajahmu” godaku.

“Sudah diam” rajuknya.

“Aku hanya ingin menemukan diriku terlebih dahulu sebelum memutuskan kembali ke Kota ini dan menetap diantara kalian”

“Jangan berkata seolah aku dan ibu adalah dua orang yang bertolak belakang dan memperebutkan mu”

“Aku tidak berkata demikian”

“Pernyataan kalau kau ingin ada diantara kami yang menunjukkan itu”

“Itu karena kalian adalah dua wanita yang akan menjadi alasan jika aku harus kembbali dan menetap di kota ini” sial …akhirnya bentengku runtuh.

“Aku tersanjung, apa ini adalah rayuan?” katanya bertanya.

“Anggap saja aku keceplosan”

“Aku masih akan di sini, bukan untuk menunggumu jadi kamu jangan besar kepala dulu” jelasnya.

“Iya aku tahu” aku menegak tegukan terakhir dari gelas dihadapanku.

Dia tidak pernah ingin menjadi merah apalagi memunculkan kelembutan melankolis merah muda. Dia konsisten untuk menjaga dirinya tetap hitam, kemurungan, dingin, misterius, keras dan ketika kau mengenalnya kehangatan akan muncul dibalik gesturnya.

3 buah cemara lalu diletakkan diatas dedaunan yang telah kecoklatan, tepat diatara kedua kakinya. Sebbuah  handphone  dikeluarkan dari sakunya, sebuah foto yang hanya menampilkan kaki yang tertutup kaos kaki merah dan sepatu hitam yang ingin dia tunjukkan…… tidak ingin menunjukkan wajah kerinduannya pada Mawar.

Pemuda itu duduk, jarinya membuka sebuah aplikai media sosial, sebuah foto yang baru diambilnya, foto yang menampilkan kaos kaki pemberian kekasihnya. Sebuah caption di tulis,“Wild..Wild ...black n red. :D.Thnkz red socks @mawar” dan diakhiri dengan  menekan instruksi share.

l.taji

/12/2/2017

I NI Ar(t)chive

Adalah ruang pengarsipan bersama yang bersifat partisipatif publik untuk mendokumentasikan narasi-narasi kecil dalam beragam bentuk (media) dari setiap peristiwa sosial-budaya yang terjadi.
Jangan ragu untuk berpartisipasi dalam mengisi dan memperkaya perspektif ruang pengarsipan ini.
tupzz
tupzz